PANCA-GILA : Ucup left The Group

Alvin Raja
Chapter #4

Emosi dan Histori

Malam itu hujan deras membasahi Batavia. Renata baru saja tiba di kediamannya. Begitu pintu mobil terbuka, Renata langsung bergegas menghampiri Sang Ayah di ruang kerjanya. Wajah Renata tampak merah padam. Melihat putrinya yang sedang gusar, Hendrawijaya langsung memberikan kode kepada tamunya agar segera meninggalkan ruangan.

“Oke deh kalo gitu kita lanjut besok aja ya Mas Hendra.” Ujar pria tersebut setelah menangkap sinyal dari Hendra.

“Oke Roy. Terimakasih banyak ya untuk kerja keras kamu hari ini.” Jawab Hendra.

Roy berpapasan dengan Renata dan menyunggingkan senyumannya namun diacuhkan oleh Renata.

“Halo Renata apa kabar?” sapanya singkat.

“Om Roy bisa tolong keluar dulu ya. Saya mau bicara penting sama ayah saya.” Ujar Renata tanpa basa-basi. Ia lalu segera menutup pintu ruangan tersebut.

“Wah cepet banget pulangnya nak? Bukannya hari ini kamu rencana mau makan malam sama temen-temen kamu?” sapa Hendra.

I’m done living my life as a part of your agenda!!” teriak Renata yang sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.

“Maksud kamu apa nak? Jangan emosi gitu dong. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Jawab ayahnya dengan lembut.

“Bicarakan baik-baik apanya? Papi itu udah bikin aku malu!”

“Malu gimana? Kamu jelasin dong ke Papi.” Hendra masih tampak kebingungan.

 “Pokoknya mulai sekarang aku gak mau lagi ikut campur sama segala macam agenda politik Papi. Mau papi menang atau kalah nanti, aku gak peduli!” lanjut Renata sambil berjalan meninggalkan ruangan ayahnya.

Begitu Renata membuka pintunya, tampak Roy masih berdiri di samping pintu.

“Loh Om Roy kok masih disini? Habis nguping pembicaraan saya?” tembak Renata.

 “Oh bukan begitu. Tadi ada yang ketinggalan.” Roy mencoba menjelaskan. Belum selesai Roy menyelesaikan kata-katanya, Renata langsung meninggalkan Roy dan bergegas menuju kamarnya di lantai dua.

 “Maaf ya Roy. Kamu tau sendiri kan Renata itu orangnya gimana.” Hendra menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya barusan.

“Santai aja mas. Saya udah kenal Renata dari masih kecil. Tapi kayaknya barusan dia lagi marah sekali ya?”

“Iya Roy. Ini ada hubungannya sama permintaan saya ke dia.”

“Maksudnya tentang anak baru itu?” Roy tampak penasaran.

“Iya. Kayaknya rencana kita gak berjalan semulus yang saya kira. Apa menurut kamu strategi kita ini keliru ya?” Hendra tampak kalut.

“Nggak mas. Ini adalah langkah yang paling cemerlang dan menguntungkan untuk kita.” Jawab Roy mantap. “Sampai saat ini, Guswono masih memimpin kepopuleran di berbagai provinsi. Kalau kita tidak lakukan ini, lama-lama posisi kita bisa berada dibawah Riana.”

“Ngawur kamu! Saya yakin itu gak akan terjadi.” lugas Hendra sambil sedikit tertawa. ”Riana itu kandidat terlemah dari antara kita bertiga. Peran dia gak lebih dari sekedar pelengkap persyaratan administrasi supaya ada tiga kandidat yang maju di pemilu kali ini. Lagian dari survey kemarin kamu lihat sendiri kan kalau presentase kepopulerannya bahkan gak lebih dari dua puluh persen. Sampai detik ini cuman Guswono yang saya khawatirkan.”

“Dan saya bisa pastikan dia gak akan jadi ancaman.” Jawab Roy sambil menyunggingkan senyum tipisnya yang penuh makna. “Yang penting mas Hendra belum kasih tahu Renata tentang identitas asli anak itu kan?” kali ini Roy menurunkan volume suaranya dan berbisik ke telinga Hendra sambil memastikan tidak ada seorangpun yang mendengarkan pembicaraan mereka.

“Ya enggak-lah!” Hendra dengan spontan menyanggah pertanyaan Roy.

“Syukurlah mas.” Roy akhirnya bisa bernafas lega.

“Kamu tenang aja. Saya gak akan seceroboh itu.” Hendra menepuk pundak Roy. “Cuman kalau boleh jujur, saya agak khawatir kalau ini semua akan berakhir sia-sia Roy.”

 “Percaya sama saya. Ini semua masih awal dari rencana kita. Saya yakin semuanya akan berjalan dengan sempurna.” Roy meyakinkan Hendra.

“Saya harap saya bisa se-optimis kamu Roy.”

”Pertarungan kita masih panjang mas. Pokoknya Mas Hendrawijaya jangan khawatir. Saya akan pastikan kita memenangkan pemilu ini.” Roy kembali mencoba mengobarkan semangat Hendra.

“Makasih Roy. Saya sangat hargai semua kerja keras kamu selama ini. Oke deh, sampe ketemu besok ya. Salam buat anak-anak.”

Begitu Hendra menyinggung soal anaknya, senyuman manis di wajah Roy langsung sirna.

“Terimakasih mas. Saya pamit dulu ya.” Jawab Roy lemas sambil meninggalkan kediaman Hendra.

Lihat selengkapnya