Tangisan anak-anak yang menolak untuk dimandikan orangtuanya membangunkan Ucup dari tidur lelapnya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Ucup bangkit dari tempat tidurnya dan terdiam selama beberapa saat. Sudah terbayang betapa berat hari yang akan Ia lalui hari ini. Mulai dari tatapan kebencian dari teman sekelasnya hingga keberadaan Renata yang ingin dihindarinya.
Dengan langkah tertatih-tatih Ucup berjalan menuju kamar mandinya yang hanya berjarak tiga langkah dari tempat tidurnya. Sambil menatap cermin, Ucup menyunggingkan senyuman tipisnya.
“Semangat Ucup! Ini semua untuk bibi. Kamu harus bisa bertahan. Hanya sepuluh bulan dan kamu akan bebas dari mereka semua.” kini Ucup mulai berbicara kepada dirinya sendiri.
---
Lorong itu lagi. Tatapan kebencian itu lagi. Lirikan sinis itu lagi. Ingin rasanya Ucup lari dari semua ini dan kembali pindah ke Sukamadu. Namun di saat yang bersamaan Ia tidak ingin menghancurkan harapan yang Hernita titipkan untuknya. Harapan yang sedikit membebani pundaknya namun harus siap Ia tanggung demi membalas semua kebaikan Hernita untuknya.
Sesampainya di kelas, Ucup tersentak melihat Renata yang duduk di kursinya. Berharap Renata belum menyadari kehadirannya, Ucup langsung membalikkan badan dan siap bergegas pergi, namun langkahnya terpaksa terhenti ketika Renata memanggil namanya.
"Hi good morning cup! Can we talk?” sapa Renata.
Perlahan Ucup membalikkan badannya dan akhirnya Ia mengangguk pelan. Renata langsung beranjak dari tempat duduknya, menggandeng tangan Ucup dan mengajaknya pergi dari kelas tersebut. Pemandangan yang unik ini membuat seluruh murid di kelas Ucup terheran-heran.
“Renata, kamu mau bawa saya kemana?” tanya Ucup yang kebingungan.
Renata tidak menjawab. Ia membawa Ucup naik ke lantai dua dan memasuki area terbatas yang dijaga oleh beberapa petugas keamanan.
"Mohon maaf. Akses ini terbatas hanya untuk petugas dan murid-murid kelas atas saja. Orang lain tidak diijinkan masuk." seorang Pria berbadan tegap mencoba menghentikan Ucup.
"Dan Anda pikir saya gak tahu itu?" jawab Renata dengan tegas.
"Re, kamu ngapain sih bawa saya kesini? Saya balik ke kelas saya ya." Ucup yang dari tadi kebingungan akhirnya melepas genggaman tangan Renata dan bersiap turun ke bawah. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika Ia berpapasan dengan Hendrawijaya.
"Selamat Pagi. Kamu Yusuf Masadi kan? Mau pergi kemana? Kelas kamu kan ada di atas?" ujar Hendra.
Ucup langsung terdiam kebingungan. "Pagi pak. Oh enggak kok pak. Kelas saya ada di bawah." jawab Ucup.
"Kemarin sepertinya ada kesalahan di bagian administrasi. Dari awal masuk seharusnya kamu tergabung di kelas yang sama dengan Renata." lanjut Hendra.
"Tapi kenapa saya pak? Kelas itu kan harusnya---" tanya Ucup.
"Ini semua merupakan bentuk penghargaan kami karena kamu sudah berhasil meraih peringkat pertama di olimpiade matematika tingkat negara." jelas Hendra.
Ucup kembali membisu. Apa yang terjadi pagi ini benar-benar di luar ekspektasinya.
"Jono, tolong buka pintunya. Anak ini murid kelas atas." Tanpa basa-basi Hendra memberikan perintah kepada petugas keamanannya agar mengijinkan Ucup masuk.
"Siap pak!" jawab pria tersebut.
Ucup masih terdiam mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Renata akhirnya kembali menggandeng tangannya dan membawanya masuk.
"Ayo ikut aku ke atas." ajak Renata.
Pintu masuk menuju area terbatas akhirnya terbuka. Tampaklah kemegahan area lobi kelas atas yang menandingi hotel bintang lima. Lampu gantung kristal yang menghiasi langit-langit menambah kesan elegan dan kemewahan ruangan itu. Di dinding lobi terlihat deretan lukisan Para Presiden Nusantara yang memerintah mulai dari tahun 1900an hingga yang masih menjabat hingga saat ini. Namun di antara semua lukisan yang ada, terdapat salah satu lukisan yang lebih menonjol dari semuanya. Ucup tampak terkesima melihat lukisan tersebut.
"Dia itu kakek saya. Pradita Wijaya. Dia yang mendirikan sekolah ini." jawab Hendra dengan bangga. "Bagi dia, pendidikan yang layak bagi seluruh warga negara itu wajib hukumnya. Saya beruntung masih sempat mengenal beliau dan belajar banyak dari dia. Makanya saya berharap apabila saya terpilih menjadi presiden nanti, saya bisa meneruskan amanat beliau untuk membangun lebih banyak sekolah yang bagus di negeri ini." ujar Hendra.
"Ya semoga nanti bapak yang terpilih." ujar Ucup dengan senyuman palsunya. Bagaimanapun juga Ia menyadari bahwa kehadirannya disini merupakan bagian dari kampanye Hendra, sehingga dengan terpaksa Ia harus tampak berpihak padanya.
"Cup, untuk masalah yang kemarin gue minta maaf ya. Gue gak ada bermaksud bikin lu sakit hati." Tiba-tiba Renata menyinggung kejadian semalam.
"Iya, saya juga mau minta maaf untuk masalah yang kemarin. Kami gak bermaksud membuat kamu kecil hati. Justru saya ingin jadi pengganti orang tua kamu dan membantu kamu agar bisa jadi orang yang sukses dan membanggakan tante kamu dan Desa Sukamadu." Hendra akhirnya juga buka suara atas permasalahan Ucup dan Renata.
Begitu Hendrawijaya menyinggung soal Hernita, pertahanan Ucup runtuh. Tidak terasa air matanya mulai menetes. Meski di lubuk hatinya Ia sudah merasa muak dan ingin lari dari semua ini, lagi-lagi Ia harus rela mengorbankan perasaannya demi impian bibinya tercinta yang menaruh harapan yang sangat besar untuknya.