Puluhan pasang mata manusia menatapnya dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Ucup ingin segera pergi dari tempat ini. Seketika Ia merasa bodoh karena telah mengiyakan permintaan Kevin untuk menunggu di lorong lobi selagi dirinya pergi ke dalam aula untuk memanggil Riana dan Kezia.
“Kamu murid beasiswa yang ada di panggung tadi kan? Selamat ya!” Tiba-tiba seorang pria paruh baya yang paling disegani di seluruh Nusantara menghampiri Ucup dan menyapanya.
“Terimakasih Pak Wicaksono.” Ucup berusaha tampak tenang menutupi rasa gugup yang menguasai sekujur tubuhnya.
“Kamu keren, cup! Congrats ya!” Bastian, putra tunggal Wicaksono menjabat tangan Ucup dengan erat.
“Terus dipertahankan ya semangatnya. Semoga nanti akan ada semakin banyak anak-anak muda berprestasi di negeri ini seperti kamu.” Ujar Sang Ibu Negara dengan ramah.
Sikap hangat dari Presiden Nusantara dan keluarganya membuat Ucup merasa tenang, setidaknya untuk saat ini. Yang semakin melegakan, tak satupun dari mereka menyinggung kejadian canggung di panggung tadi.
“Jadi gimana nih rasanya belajar di kelas atas? Saya dengar ruangannya kayak amphitheatre room ya? Dulu waktu ayah saya masih jadi capres, saya udah terlanjur kuliah. Sayang banget gak sempat ngerasain enaknya 'kelas atas' di Sekolah Nusantara.” Ujar Bastian sambil sedikit tertawa.
Ucup bingung harus menjawab apa. Satu sisi Ia memang sangat takjub akan segala kemewahan yang Ia dapatkan di kelasnya. Namun di saat yang bersamaan, Ia merasa semua fasilitas yang ada terasa sangat berlebihan. 'Kelas atas' memanjakannya dengan layar lebar dan home theatre system serta meja besar yang dilengkapi dengan seperangkat teknologi canggih. Komputer dan tablet yang disediakan di mejanya menjadi sarana yang digunakan untuk mencatat penjelasan dari guru mereka.
“Loh ada Pak Wicaksono disini? Senang bisa berjumpa lagi pak! Dari tadi mau ajakin bapak ngobrol tapi sayangnya gak sempet-sempet. Banyak banget yang nge fans sama bapak.” Suara Riana menyelamatkan Ucup dari pertanyaan itu.
“Ya ampun Mba Riana cantiknya!” Spontan, Sriyani yang terpesona akan keindahan paras Riana memuji penampilannya.
“Aduh, kalo bicara soal cantik mah Ibu Sriyani gak ada tandingannya. Dari dulu tetap kencang kulitnya. Ini baru namanya definisi kecantikan yang alami.” Riana yang tersipu malu membalas pujiannya. Akhirnya lemparan pujian kecantikan antara satu sama lain pun terus berlanjut.
“Udah.. Mama sama Ibu Riana sama-sama cantik kok.” Sambil tertawa, Bastian memotong sahutan antara Riana dan ibunya. Akhirnya kompetisi saling memuji pun terhenti.
“Apa kabar kak Bastian?” Sapa Kezia dengan senyuman hangatnya.
“Eh Kezia! Kabar baik. Kalian gimana? Udah mulai latihan Ujian akhir?” Bastian membalas sapaannya.
“Kabar baik juga kak. Iya nih udah mulai banyak latihan soal sekarang.” Jawab Kezia. “Hai Kak Jenny. Selamat ya untuk calon dede bayinya. Kemarin aku baru lihat postingannya di akun sosial media kakak.” Kali ini sapaan Kezia beralih kepada istri Bastian yang baru dinikahinya enam bulan silam.
“Makasih Kezia. Do’ain semoga semuanya lancar sampai ke persalinan ya.” Balas Jenny.
"Pasti kak." jawab Kezia.
“Selamat ya.” Riana juga ikut menyapa. “Wah berarti Pak Wicaksono sebentar lagi bakal jadi kakek nih.”
“Iya nih mba Riana. Momennya kebetulan pas sekali. Jadi nanti saya bisa luangkan banyak waktu sama cucu setelah selesai jabatan.” Jawab Wicaksono sambil tersenyum lebar.
Suasana hangat di lorong lobi langsung berubah dingin ketika Roy dan Hendra Wijaya hadir. Riana mencoba tetap bersikap sopan meskipun dirinya ingin segera menghindar.
“Halo semuanya. Wah lagi pada ngumpul nih.” Sapa Hendra Wijaya. Detik itu juga Ucup langsung gemetar. Apa yang terjadi sore tadi masih meninggalkan luka trauma untuknya.
“Waduh Pak Hendra habis dari mana aja toh? Dari tadi kita nungguin loh.” Protes Sriyani dengan halus.
“Iya mohon maaf ya bu. Tadi mendadak ada urusan. Tapi Ibu dan Bapak sudah makan?” Jawab Hendra.
“Sudah. Enak-enak makanannya. Nanti kabari nama cateringnya ya.” Tanpa sungkan, Ibu Sriyani melontarkan pertanyaan khas Ibu arisan. Sriyani, dengan kepribadiannya yang down to earth meruntuhkan stigma bahwa Ibu Negara harus selalu bersikap kaku.
“Siap bu. Nanti saya kirim link website-nya ya” Ujar Hendra sambil tertawa. “Halo Ucup. Kamu sudah makan malam?” Seolah tak pernah terjadi apa-apa, Hendra menyapanya tanpa ragu.
“Saya lagi kurang enak badan. Ini mau pulang saja pak.” Ucup masih berusaha bersikap sopan meskipun dirinya sudah merasa muak akan sandiwara yang Hendra Wijaya mainkan.
“Selamat ya buat acaranya malam ini. Semoga ke depannya akan ada banyak anak-anak berprestasi seperti Yusuf.” Ujar Wicaksono dengan hangat yang akhirnya dibalas anggukan dan ucapan terimakasih dari Hendra Wijaya.
“Baiklah, kalau begitu saya pamit ya. Terimakasih banyak untuk undangannya.” Wicaksono akhirnya berpamitan. Hendra berinisiatif untuk mengantarnya keluar. Sedangkan Roy memilih untuk tinggal sejenak dan menyapa anak-anaknya.
“Apa kabar nak? Kalian sehat-sehat?” sapanya.
“Baik pa. Papa udah makan? Kok dari tadi gak kelihatan?” tanya Kevin.
“Oh iya, tadi ada urusan sebentar.” Jawab Roy canggung.
“Malam Yusuf.” Setelah anaknya, Roy lanjut menyapa Ucup. Raut tegang dari wajah Ucup masih terlihat jelas. Ia berusaha bersikap ramah dengan mengangguk pelan namun tangannya terlihat mengepal. Melihat tingkah Ucup yang canggung, Kezia menduga ayahnya juga terlibat dengan insiden sore tadi.
“Hi. You look good, na,” Kali ini sapaannya mengarah kepada mantan istrinya. Namun Riana memilih untuk tidak menanggapinya.
“Daddy kemana aja sih? Ben dari tadi nangis nyariin daddy-nya tau.” Tiba-tiba seorang wanita berumur 25 tahun datang menghampiri Roy sambil menggendong bayi laki-lakinya.
Tangisan bayi dan suara manja wanita itu semakin meremukkan perasaan Riana. Ia menyesal tidak langsung melesat pergi mengikuti Wicaksono dan keluarganya dari tadi. Kevin dan Kezia pun tampak gusar. Melihat sang ayah menggendong anak dari hasil perselingkuhannya, hati Kevin dan Kezia terasa sakit.