PANCA-GILA : Ucup left The Group

Alvin Raja
Chapter #18

Bom Atom

Suasana duka menyelimuti kediaman Ucup di Sukamadu. Setelah proses pemakaman berhasil dilakukan, semua tamu mendatangi rumah Ucup, tempat dimana Ucup dibesarkan oleh Hernita.

Kini Ucup benar-benar merasa hidup sebatang kara. Seraya para tamu yang tiba menyalami Ucup dan menyampaikan ucapan belasungkawa mereka, pikiran Ucup melayang ke malam dimana Ia melihat Hernita untuk terakhir kalinya. Malam dimana kebenaran tentang awal mula kehadiran Ucup di dunia ini mulai tersibak di hadapannya.

Kala itu Ucup dan Hernita berjalan bersama menuju gapura Sekolah Nusantara. Ucup masih coba memproses segala sesuatu yang terjadi selama beberapa jam terakhir ini. Kebisuan di antara mereka berdua akhirnya terpecah ketika Hernita mulai membuka suaranya.

“Cup, bibi minta kamu jangan benci sama bibi ya.” Pinta Hernita dengan matanya yang masih berkaca-kaca.

“Saya kecewa sama bibi. Saya pikir bibi adalah satu-satunya orang yang bisa Ucup percaya di dunia ini.” Dengan nada yang halus namun jelas terdengar di telinga, Ucup berhasil menancapkan luka di hati Hernita.

“Bibi gak pernah bermaksud membohongi kamu. Bibi cuman merasa belum waktunya---”

“Memangnya sampai kapan bibi berencana menutupi ini semua? Kenapa dari awal bibi gak terus terang saja sama saya?”

“Karena ini permintaan dari almarhum ibu kamu nak.”

Mendengar hal itu, langkah Ucup terhenti.

“Bibi belum jelaskan siapa Ibu saya yang sebenarnya.” Kali ini Ucup menuntut kebenaran lain yang masih Hernita coba sembunyikan darinya. “Kalau bibi bisa cerita tentang identitas ayah saya, lalu kenapa bibi masih coba sembunyikan kebenaran tentang ibu saya?” Sebuah keganjilan dari informasi tak utuh yang Hernita sampaikan membuat Ucup merasa semakin geram.

“Ibu kamu yang minta bibi sembunyikan ini semua—”

“Tapi kenapa? Saya berhak tahu siapa ibu saya yang sebenarnya.” Nada bicara Ucup mulai meninggi. Kesabarannya sudah tiba di ambang batas.

“Gak lama lagi bibi akan ceritakan semuanya. Tapi sebelum itu, ada yang harus bibi lakukan.” Ujar Hernita seraya Ia bersiap-siap menaiki sebuah taksi yang sudah menunggu di area penjemputan murid Sekolah Nusantara.

“Maksud bibi?”

“Ada beberapa hal yang harus bibi selesaikan. Ini semua ada hubungannya dengan Ibu kamu. Bibi janji, setelah ini bibi akan kembali dan ungkapkan semuanya ke kamu. Tapi sebelum itu, bibi minta tolong.” Hernita menggenggam tangan Ucup dengan erat. “Apa yang baru saja kita bicarakan tentang ayah kamu, bibi mohon, untuk saat ini Ucup tolong jangan ceritakan dulu ke siapapun ya. Termasuk Ayah kamu.”

“Kenapa?” Ucup mengerutkan dahinya.

“Terlalu berbahaya nak. Gak aman kalau banyak orang yang tahu.”

“Gak aman? Maksud bibi?”

“Orang-orang yang terlibat dengan rahasia ini berbahaya nak. Akan jauh lebih aman kalau semuanya kita tetap sembunyikan.”

“Bi, aku gak ngerti. Kok malah jadi serem begini?”

“Nak.. Sebentar lagi semuanya akan terungkap.” Ujar Hernita sambil memegang wajah Ucup dengan matanya yang berkaca-kaca. “Setelah ini semua selesai, bibi janji gak akan pernah ganggu kamu lagi.”

Setiap patah kata yang Hernita sampaikan terus menimbulkan tanda tanya baru untuk Ucup. Berbagai tanda tanya baru yang hinggap di kepalanya melahirkan gelombang amarah yang luar biasa, hingga akhirnya tanpa Ia sadari Ucup mengatakan sesuatu yang kelak akan Ia sesali.

“Ucup benci sama bibi.”

Mendengar hal ini, Hernita tidak bisa berkata-kata. Bibirnya gemetar, seluruh tubuhnya mendadak kaku. Namun dari sorot matanya bisa terlihat jelas kesedihan yang luar biasa. Anak laki-laki yang Ia besarkan sejak belia baru saja mengungkapkan kebenciannya yang luar biasa pada dirinya.

“Bibi pamit ya.” Setelah terdiam selama beberapa detik, akhirnya Hernita memasuki taksi yang dari tadi sudah menunggunya. Ucup tidak menanggapi. Ia bahkan tidak sudi melihat bibinya pergi. Ucup berusaha keras menahan air matanya yang sudah siap tumpah dari tadi.

Pertemuan terakhir Ucup dengan bibinya masih meninggalkan luka yang menganga. Semakin Ia mengingat apa yang Hernita katakan, semakin Ia yakin bahwa ada yang tidak beres dengan kematian bibinya.

“Cup, yuk makan.” Suara Kezia memecahkan lamunan Ucup. Pikirannya yang dari tadi sibuk mengembara akhirnya kembali ke tempat dirinya berada saat ini.

“Kalian duluan aja. Saya belum lapar.” Jawab Ucup sopan.

“Aduh cup. Dari tadi siang kamu gak makan-makan loh. Nanti kamu sakit.” Jawab Kezia. Terdengar kekhawatiran dari nada bicaranya.

“Iya cup. Lu harus kuat lewatin semua ini.” ujar Kevin.

Lihat selengkapnya