Pukul enam petang Wardhani mengambil handuk kumal miliknya dan pergi ke belakang. Ia menggantungkan kain pengering tubuh itu di pengait dari paku bengkok berkarat yang menempel di dinding bata kamar mandinya untuk kemudian menimba air dari sumur berlumut di depannya.
Sumur dan kamar mandi itu masih satu bagian dari rumah peninggalan nenek dan kakeknya yang meski besar, terlihat cukup kuno dan kekurangan dana untuk perawatan apalagi perbaikan.
Air yang Wardhani timba menggunakan tali terbuat dari potongan karet ban dari sumur itu dimasukkan ke dalam semacam corong dari batu untuk kemudian air tersebut mengalir masuk ke dalam bak penampungan di dalam kamar mandi. Daster selututnya basah di beberapa bagian.
Gadis delapan belas tahun ini meruapkan keremajaan yang sedang matang dari tubuhnya. Wajahnya berkesan ayu dan tegas dengan mata menyalak galak terhiasi bulu mata lentik seakan ditempel semesta dengan paksa.
Air mengalir menyapu lekukan tubuh masaknya yang masih mungkin untuk tumbuh lebih berisi. Warna kulitnya segelap daun kering, namun dengan kelembaban dan kehalusan yang sangat mengejutkan: bak dirawat di dalam keraton, entah memang diam-diam Wardhani merawatnya dengan baik atau memang lagi-lagi semesta yang memberikannya cuma-cuma.
Rambut panjang bergelombangnya digelung begitu saja untuk menghindari basahnya air yang berkilat-kilat di kulit indahnya karena pantulan sinar kuning lampu bohlam kamar mandi. Tapi, urusan rambut atau pakaiannya yang lusuh yang kini tergantung di samping handuk, tak mampu menutupi kecantikan Wardhani yang seakan mendesak keluar dari kulit duniawinya. Beberapa pemuda di kampungnya jelas-jelas sepakat bahwa gadis itu sepertinya sejenis bidadari yang turun ke bumi namun tak bisa kembali ke kayangan karena selendang untuk terbangnya tertinggal di suatu tempat.
Sayangnya, ya sayangnya ... Penduduk kampung juga bilang bahwa gadis ini malang adanya. Pikirannya agak terganggu. Sedikit gila. Padahal, beberapa pemuda tadi juga tak begitu keberatan andaikata bisa berpacaran dengan Wardhani yang sedikit gila, konon katanya, itu. Mungkin cara berpikir bidadari sedikit berbeda dengan manusia.
Bagaimana orang-orang bisa berpikir Wardhani gila, itu akan disisakan untuk diceritakan kelak dalam kisah ini.
Ayah Wardhani bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik atau perusahaan pengepul kertas bekas, sedangkan ibunya juga seorang buruh, buruh tani, di sawah padi yang dahulu merupakan milik keluarnya.
Begitulah memang cara dunia bekerja.
Kakek dan nenek serta kakek buyut sebelum mereka dahulu termasuk orang terpandang dan kaya di kampung ini. Keluarga Sardhono, sang Kakek Buyut Wardhani, dikenal sebagai juragan tembakau yang memiliki tanah luas termasuk persawahan di kampung yang miskin dan jauh dari pusat peradaban di Jawa saat itu.
Namun hidup menjungkirbalikkan mereka. Orangtua Wardhani sekarang hanya ditinggalkan rumah kuno nan luas yang tak mampu keluarga ini rawat dengan baik, tepat setelah anak perempuan pertama mereka wafat di usia ke sembilan belas.
Wabah yang mendera kampung dan kampung-kampung tetangga sewaktu Wardhani masih orok itu merontokkan tanaman dan meruntuhkan kesehatan semua orang.
"Ah, sial, airnya habis," gumam Wardhani. Ia sedang membersihkan tubuhnya ketika gayung plastik hijau yang sudah retak di sana-sini itu membentur dasar bak yang sudah kehabisan air.
Ia mengambil handuk kumal dan membelitkan di tubuhnya. Pintu kamar mandi berderit ketika Wardhani membukanya untuk menuju ke sumur dengan tujuan menimba kembali beberapa ember air.