Pancajiwa

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #2

Warung

Soemantri Soekrasana berhenti di depan gapura sebuah dusun yang dibangun dari batu-bata dan tampak telah dibuat lama termakan sang Kala. Di beberapa bagiannya diikatkan kain kuning dan putih yang tak kalah lusuh, sedikit tercabik, memamerkan ketuaannya.

Soemantri Soekrasana menghela nafas panjang. Sebuah dusun terpencil bak seorang anak yang dijauhi teman-temannya ini memang terlihat dan terasa kental oleh aroma mistis dan magisnya. Di malam hari setelah magrib, serabut dan sulur-sulur kabut mendadak datang menyergap dengan kalap.

Orang-orang yang ia temui di sepanjang perjalanannya mengatakan nama tempat ini adalah Dusun Pon. Soemantri Soekrasana tersenyum tipis karena petang ini adalah tepat hari Rabu Pon dalam perhitungan penanggalan Jawa.

***

Warung kopi Mak Romlah cukup ramai malam ini. Beberapa pemuda sibuk membahas mengenai kemungkinan pembangunan jalan baru di dekat dusun serta sebuah menara dari perusahaan penyedia jasa telekomunikasi di dekat beringin kembar keramat lapangan bola di sudut desa. Itu artinya, kedua pohon beringin yang dikeramatkan warga tua dusun harus ditebang sehingga Internet akan datang.

Keriangan dan semangat menyambut modernisasi yang sudah lama terjadi lebih dahulu di kampung-kampung tetangga itu jelas menjalar dan merekat erat si sela-sela obrolan mereka.

"Internet iku opo to?" Mak Romlah bertanya mengenai apa gerangan yang dimaksud dengan Internet itu kepada para pemuda yang sedang melahap pisang goreng dingin di depan mereka.

"Ah, pokoknya kalau Mak dan tetua dusun ini percaya dan mengerti apa itu sihir, Internet itu ya sihirnya masa sekarang. Contohnya, Mak bisa ngomong sama anak Mak yang bekerja di Lampung bukan hanya dari suara, tapi juga bisa langsung sama-sama lihat wajahnya. Nah, gitu gambaran seupilnya Internet."

Mak Romlah ternganga.

Soemantri Soekrasana datang di saat yang tepat. Para pemuda enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan janda enampuluh tujuh tahun itu lagi, terutama mengenai teknologi terkini. Umur empat puluh tahun saja di dusun ini memiliki ketertinggalan selama ratusan tahun pembangunan yang terjadi di luar sana, pikir para pemuda, apalagi Mak Romlah yang sudah renta.

"Mbah, kopinya satu. Ada makanan apa saja ya disini?" ujar Soemantri Soekrasana.

"Selamat datang, nak. Ada keperluan apa di dusun terpencil di malam hari yang berkabut ini? Oh ya, panggil saja aku 'Mak', Mak Romlah orang dusun biasa menyebutku," ujar sang janda agak genit. Senyumnya terkembang, menampakkan deretan gigi yang masih utuh untuk seusianya walau tak rapi dan berwarna kemerahan karena sirih.

Soemantri Soekrasana membalas senyuman Mak Romlah dengan kikuk. Nenek itu belum membalas pertanyaannya tentang makanan yang tersedia di warung ini. Perutnya sudah keroncongan seperti kendang berisi angin.

"Welah, Mak peyot gampang lupa, cah bagus. Di warung ini ada nasi. Lauknya pilih saja di meja, nak," ujar Mak Romlah sadar bahwa ia belum menjawab pertanyaan utama sang pelanggan.

Soemantri Soekrasana mengangguk, "Boleh Mak, nasi satu," ujarnya sembari memperhatikan kepala, ceker dan hati ayam goreng, serta tempe bacem dan sayur bothok.

Para pemuda sedang memperhatikannya. Sadar dirinya menjadi pusat perhatian, Soemantri Soekrasana balas menatap para pemuda dengan mencoba menciptakan air muka seramah mungkin. "Malam mas. Sebenarnya saya cuma numpang lewat. Tapi siapa tahu ada yang memerlukan bantuan, saya bisa bantu. Kebetulan saya bekerja sebagai tukang pijat keliling."

"Muda-muda jadi tukang pijat mas?" tanya salah satu pemuda nampak tertarik.

"Ya malah karena masih muda mas, masih kuat," respon Soemantri Soekrasana sembari tersenyum. Sebagai seorang dukun - paranormal istilah yang lebih dipilihnya - dan menguasai ilmu kanuragan, menyamar menjadi seorang tukang pijat untuk menyelidiki kasus-kasus gaib bukanlah sesuatu yang sulit. Ia lumayan paham seluk-beluk otot dan syaraf manusia. Jadi samarannya akan cukup meyakinkan.

***

Soemantri Soekrasana mengambil kesempatan untuk meminta ijin buang air kecil. Mak Romlah mempersilahkannya ke kamar mandi sekaligus WC atau jamban berdinding anyaman bambu, gedhek, di belakang rumah dan warungnya.

Lihat selengkapnya