Rabu Pon adalah hari berdasarkan penanggalan Jawa, di mana Pon adalah salah satu dari lima hari pasaran selaim Kliwon, Legi, Pahing, dan Wage. Rabu memiliki nilai neptu tujuh, sedangkan pasaran Pon juga memiliki nilai neptu tujuh. Ini berarti hari Rabu Pon bersifat lakuning rembulan, atau layaknya rembulan. Intinya, hari Rabu Pon memiliki makna harapan untuk dapat menjadi sebuah hari yang indah dan menentramkan layaknya rembulan.
Tapi, itu sama sekali bukan alasan Dusun ini dinamakan Dusun Pon.
Meski sulit melacak asal kapan nama dusun ini dibuat, namun bisa diketahui bahwa banyak kejadian baik dan buruk terjadi tepat pada hari Rabu Pon sepanjang sejarah dusun, termasuk bencana dan wabah besar yang melanda dusun sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Sejenak tadi, sang gadis menyaksikan sosok kuntilanak merah melayang di belakang tubuh sang dukun muda yang sampai di rumahnya dengan alasan ingin memijat sang bapak. Sebuah alasan yang memang dibuat-buat saja oleh sang pemuda misterius itu.
"Jangan khawatir. Aku percaya denganmu, Wardhani. Apa kau juga melihat mendiang nenekmu yang kerap duduk di kursi rotan itu?" tanya Soemantri Soekrasana kepada sang gadis yang masih terbelalak tak percaya tadi ia sempat melihat mahluk mengerikan dengan sepasang mata nyalang meneteskan darah. Soemantri Soekrasana menyatakan ini dengan lugas ingin menunjukkan bahwa ia paham sekali dengan apa yang dialami perempuan belia itu.
"Wardhani, aku ingin kamu konsentrasi, fokus dengan pertanyaanku," tanya Soemantri Soekrasana tak menggubris pandangan kedua orangtua Wardhani yang selain kaget juga masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
"Ya, benar mas. Bagaimana mas ... Mas bisa tahu?" tanya Wardhani terbata-bata dengan waswas, khawatir, bercampur sisa rasa takut yang berdenyut cepat bersama detak jantungnya.
Soemantri Soekrasana memandang kedua orangtua Wardhani lekat-lekat. "Bapak, ibu, putri kalian tidak gila. Kalian juga sama sekali tidak bisa dikatakan tidak waras seperti yang orang-orang dusun ini pikirkan," ujar Soemantri Soekrasana tanpa basa-basi.
"Saya paham, bapak dan ibu mengalami banyak hal berat di masa lalu. Tapi, Wardhani benar-bener mampu melihat hal-hal gaib yang tidak diketahui bahkan tidak diacuhkan oleh warga dusun selama ini. Maka dari itu, saya memutuskan untuk membantu keluarga bapak."
Sang ibu memandang Wardhani, kemudian mendekat dan memeluknya. Tangisan pecah sudah. "Oalah, nduk ... nduk. Malangnya nasibmu. Selama ini, ibu dan bapak tidak mengetahui bahwa kamu habis-habisan menutupi penglihatanmu itu. Warga dusun kerap mengatakan bahwa kamu sering melihat hal-hal aneh. Mereka terus mengejek keluarga kita. Meski ibu dan bapak tak peduli, tapi kami menyesal tidak lebih memperhatikan deritamu. Ceritakan semua pada cah bagus ini, nduk," ujar sang ibu.
Malam di Dusun Pon dengan lapisan kabut ini membawa surai-surai gaib yang menarik Soemantri Soekrasana datang berkunjung ke rumah Wardhani dengan beralasan ingin memijat sang bapak. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah ketika ia melihat sosok perempuan berambut panjang, kusam, hitam kemerahan dan sekaku ijuk menempel di punggung si bapak, ia tahu bahwa ia perlu mendapatkan segala penjelasan.
"Kau juga melihat arwah mendiang kakakmu, Wardhani?" lanjut Soemantri Soekrasana.
Gadis ayu dengan kulit mulus segelap warna daun kering itu mendadak bingung. "Aku masih bayi ketika mbak Kinanti wafat, mas," jawabnya.
Kedua orangtua Wardhani mengernyitkan kening ikut heran.
"Baik, bapak, ibu sekalian. Kedatangan saya bukan sekadar ingin memastikan bahwa memang apa yang kerap dilihat Wardhani di dusun ini benar adanya, namun juga karena ... Kakak Wardhani, berarti putri kandung bapak ibu tersebut masih ada di sekitar sini. Arwahnya bisa dikatakan masih gentayangan."
Sepasang mata dengan bulu-bulu lentik Wardhani membuka lebar, menyadarkannya akan sesuatu. "Mas ... Aku beberapa kali melihat ... Sosok perempuan ... Duduk di tepian sumur di belakang. Ia sedang menyisir rambut. Terakhir tadi sore ketika aku sedang mandi," ujar Wardhani. "Apakah ia adalah mbak Kinanti?"