Malam itu lima orang pemuda berjalan beriringan memenuhi jalan setapak Dusun Pon yang kanan kirinya ditumbuhi rerimbunan tanaman bambu. Malam itu dihiasi sobekan kabut tebal-tebal. Gemerisik angin membuat batang-batang bambu saling bergesek, menciptakan musik alam yang gaib, magis dan sakral.
Kelimanya sedang bercanda, bersenda gurau, saling ejek, saling dorong, saling sikut dengan rasa persahabatan dan kemudaan yang meruap dari ubun-ubun mereka.
Budi, pemuda berkulit paling gelap diantara kelimanya, namun paling tampan, setengah berlari di depan yang lainnya, bercanda. Mendadak ia jatuh tersungkur. Wajah yang bagus itu mencium tanah yang diselimuti dedaunan bambu yang kering.
Sontak keempat temannya merespon kejadian ini dengan tertawa terbahak-bahak. "Rasakno, rasakan. Kakehan polah, kebanyakan tingkah sih kamu," ujar Agung, pemuda berkaos oblong putih dan bersarung. Rekan-rekannya yang lain juga mengejek Budi dengan beragam celaan dan cemoohan yang bersifat candaan perkawanan.
Budi membalikkan tubuhnya untuk melihat apa gerangan yang membuatnya jatuh.
Ada sosok pocong jelas terlihat terbaring kaku melintang di jalan tempatnya terjatuh tadi. Rupa-rupanya ia tersandung 'benda' itu. Kain kafan yang menyelubungi dan membuntali sosok mayat di dalamnya kumal dan penuh noda tanah. Wajah yang menyembul dari sebuah bukaan di kain terlihat pucat, separuh membusuk. Rongga matanya tak lagi memiliki bola mata, hanya cacing yang bermain keluar masuk di sana.
Budi tiba-tiba menjadi gagap. Jantungnya serasa berhenti. Ada atmosfir luar biasa aneh yang menyergapnya, membuat seluruh tubuhnya dingin dan membeku. Ia mencoba bangun kemudian spontan lari sekencang-kencangnya walau kedua kakinya bak diganduli batu, tak peduli dengan apapun.
Teman-temannya yang bingung karena Budi berlari kalap meninggalkan mereka berteriak-teriak memanggil namanya. Mereka nyatanya tak melihat apa yang Budi tadi saksikan. Tapi itu tak bertahan lama, sejenak kemudian keempatnya terpencar, melarikan diri terpontang-panting pula.
Agung melihat ada sosok perempuan di balik rerimbunan bambu yang bertelanjang dada. Payudaranya menggantung bebas. Sosok itu berkaki kuda.
Yang lainnya melihat seorang laki-laki berjalan cepat kearah mereka dengan menenteng kepalanya sendiri yang sudah terlepas dari badannya. Terlihat pula tiga sosok terlihat seperti anak laki-laki berwajah dan berkulit pucat merangkak di tanah. Sosok kuntilanak berambut begitu panjang sampai menyapu permukaan tanah, namun kedua kakinya melayang di udara, terbang mendekat.
***
Soemantri Soekrasana menjelaskan kepada keluarga Girinata bahwa keanehan yang dialami Wardhani sebenarnya mungkin sekali adalah sebuah bakat dan keistimewaan.
"Aku tak mau bakat semacam ini, mas Soemantri. Bila ini disebut sebuah keistimewaan, aku lebih baik menjadi orang biasa yang papa saja," ujar Wardhani menolak.
Girinata, bapak kandungnya memandang lekat-lekat wajah ayu sang putri dengan penuh rasa sayang.
Soemantri Soekrasana berdehem, "Wardhani, keadaan ini lebih rumit dari yang kamu bayangkan. Ada suatu hal lain yang ingin aku sampaikan lagi," ia kemudian juga memandang sang bapak. "Pak, ini juga berkaitan dengan bapak." Soemantri Soekrasana mengedarkan pandangan ke arah sang istri, Marni, ibunda Wardhani dan kembali lagi ke Girinata.
Girinata, laki-laki setengah baya itu balas menatap laki-laki muda di depannya itu dengan pandangan pasrah.