Tubuh Marni menimpa Soemantri Soekrasana. Kesepuluh jari sang perempuan melingkar erat di leher laki-laki muda itu.
Soemantri Soekrasana menggapai-gapai udara yang tak berhasil masuk ke paru-parunya karena jalannya tersendat cekikan Sapar Nataprawira yang merasuk ke dalam tubuh anaknya sendiri.
Wardhani berteriak tertahan. Namun entah mengapa ia tak panik, tak takut dan tak kemerungsung. Dengan sigap ia memegang lengan sang ibu dan menariknya kuat sampai Marni melepaskan cekikannya pada sang dukun muda.
Girinata, sang bapak, terpelongo. Ia mendengar jelas suara sang Rama atau bapak dari istrinya yang serupa dengan ketika terakhir kali ia dijejak, diinjak, ditendang dan ditampar dengan menggunakan selop laki-laki yang tewas sebelum sempat menjadi mertuanya itu.
"Bapak ... Segera pegang ibu!" seru Wardhani.
Girinata tersentak, sadar bahwa dirinya terdiam ternganga terlalu lama sehingga lupa bahwa istrinya sedang mengamuk kerasukan dan sedang berusaha membunuh seseorang. Segeralah ia mendekat ke arah Marni yang menggeliat-geliatkan tubuhnya memberontak bagai seekor cacing tersiram minyak tanah.
Belum sampai menyentuh tubuh istrinya, Marni melotot memandang tajam suaminya, menggeram menggeretakkan gigi-giginya, mengatupkan rahangnya bagai pagar besi.
"Marni, ini aku, suamimu, bu ...," ujar Girinata mengangkat kedua tangannya dan mengarahkan telapaknya ke depan sebagai bentuk usaha menenangkan sang istri.
"Mas ... Mas Soemantri, bangun segera. Apa yang harus aku lakukan?!" teriak Wardhani. Yang diteriaki bangun terduduk, memegang lehernya dan menghela nafas panjang dan cepat, terlihat lega hidupnya masih bisa berjalan.
Ia memandang ke arah kejadian kisruh di depannya dan langsung tersadar. "Pegang ia ... maksudku Ibumu kuat-kuat, Wardhani," Soemantri Soekrasana mengobok-obok tas selempangnya untuk mencari sesuatu.
"Cepat Mas. Aku tak bisa menahan ibu lebih lama!" seru sang gadis.
Benar saja, tak lama tubuh Marni melengkung ke belakang, setengah kayang, kemudian terangkat ke udara.
Kali ini Girinata yang kembali tersadar. Ia tak ambil pusing lagi untuk langsung bergegas memegang kedua kaki Marni yang sudah menggantung di udara sedangkan Wardhani yang dari tadi menggenggam lengan sang ibu ikut terangkat. "Mas Soemantri ... Cepat ... Cepat bantu aku!" serunya.
Soemantri Soekrasana akhirnya menemukan sebuah pisau lipat kecil yang ia cari dari dalam tas selempangnya. Dengan pisau itu ia menorehkan luka di telapak tangan kirinya. Wajahnya meringis ketika darah menyembul keluar dari rekahan kulit dan daging telapaknya.
Dengan telunjuk tangan kanan, Soemantri Soekrasana mencolet darah itu dengan jari telunjuk tangan kanannya kemudian menulis ke lantai ubin Belanda ruang tamu rumah itu sebuah mantra dalam aksara Hanacaraka.
꧋ꦱꦏꦺꦃꦭꦫꦲꦥꦤ꧀ꦱꦩꦾꦧꦭꦶ꧈ꦱꦏꦺꦃꦲꦩꦥꦤ꧀ꦱꦩꦾꦩꦶꦫꦸꦢ꧈ꦮꦼꦭꦱ꧀ꦲꦱꦶꦃꦥꦤ꧀ꦢꦸꦭꦸꦤꦺ꧈ꦱꦏꦺꦃꦲꦶꦁꦧꦿꦗꦭꦸꦥꦸꦠ꧀ꦏꦢꦶꦏꦥꦸꦏ꧀ꦠꦶꦧꦤꦶꦁꦮꦼꦱꦶ꧈ꦱꦏꦺꦃꦲꦶꦁꦮꦶꦱꦠꦮ꧈ꦱꦠꦺꦴꦒꦭꦏ꧀ꦠꦸꦠꦸꦠ꧀ꦏꦪꦸꦲꦲꦺꦁꦊꦩꦃꦱꦔꦂ꧈ꦱꦺꦴꦁꦔꦶꦁꦭꦤ꧀ꦝꦏ꧀ꦒꦸꦮꦤꦶꦁꦮꦺꦴꦁꦊꦩꦃꦩꦶꦫꦶꦁ꧈ꦩꦾꦁꦥꦏꦶꦥꦺꦴꦤ꧀ꦤꦶꦁꦩꦼꦫꦏ꧀꧈
"Aku perlu bantuanmu, Wardhani. Ikuti apa yang aku ucapkan walau terbata-bata karena kau tak kenal kata-katanya atau terlupa," seru dukun muda itu.
"Sakèh lara apan samya bali ...," ujar Soemantri Soekrasana yang langsung diikuti dengan sempurna oleh Wardhani, "Sakèh lara apan samya bali ...," ujarnya.