Empat pemuda dusun dengan wajah berjerawat dan bau tubuh mengisyaratkan kemudaan dan semangat yang masih mengombak keras dan bebas itu memandang takjub pada Wardhani. Keempatnya bersimpuh di pekarangan depan rumah luas keluarga Girinata yang lantainya tersulam tanaman merambat, lumut dan ilalang. Meski bersimpuh, namun kepala mereka terangkat karena mata mereka tak berhenti memandangi sosok sang Ratu Dedemit yang berdiri menjulang berlatar belakang seluruh jagad.
Tubuh Wardhani ditutupi bebatan selembar kain yang menyisakan helai disimpul di bagian belakang bergoyang ditiup angin malam bagai seutas ekor yang membawa serta berjenis-jenis arwah. Sehelai kain yang digunakan Wardhani untuk membungkus tubuhnya itu adalah kain kafan.
Marni berdiri di samping jauh putrinya. Keriput di kulitnya yang sebelumnya menjalar di garis-garis wajah kini menghilang tanpa bekas, bagai tulisan coretan tangan di pasir tersapu ombak. Bahkan secara ajaib nan gaib, kedua anak-beranak ini terlihat sebaya. Wardhani yang delapan belas tahun, yang kini semakin menunjukkan kedewasaannya, bersanding dengan ibunya yang terlihat tidak lebih dari duapuluh dua tahun walau aslinya sudah setengah baya itu, bukanlah sebuah pemandangan biasa bagi keempat pemuda tanggung yang sedang dalam masa kebimbangan nafsu syahwat tersebut.
"Kalian benar-benar datang dan percaya kepadaku, seperti kalian sudah percaya kepada kami sebelumnya," ujar Wardhani. Chandranaya, sang kuntilanak merah mengintip dari balik tanaman perdu yang tumbuh liar di satu sisi tembok bangunan rumah Girinata. Tubuh astralnya membayang bagai malam kelam itu sendiri.
Kini keempat pemuda tersebut menunduk ketika mendengar suara sang ratu. Keagungan dan kekuasaan Wardhani menyembul dari setiap pori-pori nya, membikin siapapun yang berada di depan sosoknya tak akan sanggup berlama-lama menatapnya dengan lancang.
"Namun, tenang. Kesetiaan dan kepercayaan kalian akan mendapatkan ganjarannya," ujar Wardhani. Kedua tangannya terentang, menyeruakkan bebauan melati, membuat keempat pemuda kembali mendongakkan kepala menikmati pemandangan indah dan agung di depan mereka.
Sepasang mata dengan bulu mata lentik titipan paksa sang semesta memandang keempat pemuda bergantian dengan genit namun tetap penuh kuasa, membuat mereka tak berdaya. Masing-masing sudah lama membayangkan saat-saat ini bersama Wardhani sejak lama.
Empat pemuda, hanya empat, yang sedari awal menaruh hati pada Wardhani di Dusun Pon ini. Mereka tak peduli dengan setiap omongan miring para warga yang mengatakan bahwa keluarga Girinata gila dan tak waras adanya, terutama si gadis, Wardhani. Keempatnya tak keberatan mereguk kenikmatan walau sekadar curi-curi pandang bahkan ada yang memberanikan diri mencoba mengintip Wardhanir dari sebuah lubang rekahan dinding bata kamar mandi di dekat sumur belakang rumahnya.
Wardhani sudah jelas tahu bahwa dirinya sedang diperhatikan sejak pertama kali mereka memperhatikan bahkan mengintipnya mandi.
Keempatnya tidak perlu diguna-guna untuk mengikuti segala kemauan Wardhani, bahkan ketika ia belum memiliki para arwah yang bertekuk lutut di hadapannya seperti saat ini.
Tak lama, Girinata yang kini juga sudah berubah wujud menjadi laki-laki berumur dua puluhan tahun, muncul. Tubuhnya tegak. Dengan bertelanjang dada seakan memamerkan bentukan otot dada dan perut yang menolak dingin oleh serangan angin malam, Girinata berjalan penuh kekuatan dan kekuasaan yang tumbuh bersemi dalam jiwanya.
Dua dari empat pemuda yang bersimpuh di depan Wardhani bangun berdiri demi melihat bapak sang Ratu Dedemit itu datang.
Girinata memberikan keduanya sebuah golok dan pisau dapur. Ia sendiri menggenggam hulu sebuah pedang suduk. Girinata kemudian melihat ke arah kedua pemuda lainnya. "Kalian ambil dua batang linggis di tembok sana," perintahnya.
***
Sosok tuyul, berbentuk tubuh seorang anak laki-laki kecil telanjang bulat dengan ukuran kepala besar tidak wajar berlarian menyertai malu-malu mengintip jalannya sang ratu dari balik pepohonan bambu yang menjulang dengan ujung-ujungnya tersembunyikan oleh malam.
Sewujud wewe gombel mengangkang di atas sebuah ranting pohon yang kokoh di ujung jalan. Matanya yang melotot kemerahan, hampir dua kali besarnya dibanding mata manusia biasa, memandang kagum pada Wardhani. Bibir tebalnya menyunggingkan senyum yang mengerikan sembari menggaruk dadanya yang panjang menjuntai.
Satu sosok genderuwo terang-terangan muncul di tepi jalan setapak yang Wardhani lewati, mengangetkan dua pemuda menggenggam linggis yang berjalan di belakangnya. Sosok besar tinggi menjulang berbulu itu meringis mesum ke arah Wardhani di balik serabut kabut, kemudian sosoknya menghilang perlahan dengan seringainya paling terakhir tenggelam dalam kelam malam.