Kabut putih berenang lamat-lamat dan lambat-lambat di tengah bunyi teriakan warga Dusun Pon yang terserak meletup di sana sini: di balik atap dan tembok rumah, di sela-sela pepohonan atau di jalan setapak dalam gelap. Penampakan arwah gentanyangan dan roh-roh penasaran rupanya telah mulai terlihat dan bermunculan di mana-mana. Gerbang jagad lelembut sudah mulai sobek dan koyak, membuat penghuni di dunia seberang siap datang.
Girinata tak menyangka dan hampir tak percaya bahwa akhirnya ia akan benar-benar mencapai kembali masa ini. Kemampuan sihir yang telah dimiliki keluarganya turun-temurun nyatanya berhasil ia rengkuh kembali.
Kedatangan Soemantri Soekrasana, sang dukun muda dengan ilmu sihir dan kemampuan gaib yang mengagumkan itu sebenarnya tak ada dalam rencana. Adalah sebuah keberuntungan yang datang kepada mereka. Bila tidak, Girinata, Marni dan Wardhani bakal membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyempurnakan ilmu mereka dan menikmati hasilnya.
Lihatlah, tubuh Girinata kembali terik, tak kisut dan tak kusut. Ia memijat otot-otot lengan dan bahunya sendiri. Bahkan tanpa sungkan lagi, Girinata melepaskan sisa pakaiannya dan melihat ke arah keperkasaannya yang kini telah kembali muda, sama dengan tubuhnya secara keseluruhan.
Girinata melihat ke arah Marni, istrinya, yang cekikikan duduk di tepi kasur butut di kamar mereka yang luas namun tak kalah bututnya.
"Kenapa kau tertawa, bu? Mau coba buktikan apa aku kembali sekuat dulu lagi?" ujar Girinata nakal, merespon istrinya yang tertawa malu-malu.
Marni, yang kembali menunjukkan wajah polos bengal dalam kemudaannya itu kembali terkikik. Kecantikannya kembali datang menempel. Ia terang-terangan menantang sang suami untuk kembali memadu kasih seperti masa muda mereka yang memang sudah terbiasa binal itu.
"Kau pikir aku takut, pak?" balas Marni nakal. Ia berdiri dan meloloskan satu persatu pakaiannya.
Berbeda dengan Wardhani, anak perempuannya, Marni memiliki kulit kuning langsat. Mungkin kulit gelap Wardhani didapat dari bapaknya, Girinata. Namun yang jelas, Marni memiliki lekuk tubuh sama ramping dan molek dengan anak perempuannya tersebut.
Girinanata melenguh bagai seekor sapi menikmati pemandangan tubuh istrinya yang sudah polos serta merasakan hasrat itu kembali membangunkan semangat dan kejantanannya seperti masa muda yang telah ia tinggal berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Percikan energi listrik melecut setiap sayatan syaraf dan otot ketika kulit keduanya bersentuhan dalam bara percintaan yang membara. Girinata menekan dalam-dalam tubuhnya, Marni membuka lebar-lebar pintu gapuranya. Dua tubuh yang rindu kesempurnaan masa muda itu bekerja dengan kasar, memberi dan menerima tanpa mau mengalah. Girinata menggigit, Marni mencakar. Keduanya saling hajar.
Sosok arwah Sapar Nataprawira berdiri dengan kepedihan menahun, memenjara, menyiksa. Ia tak bisa pergi dari tempat itu. Tubuhnya membayang di tepi tempat tidur. Kedua matanya mencelang terbuka melihat putrinya digagahi laki-laki yang sebenarnya kini terhitung sebagai menantunya sendiri.
"Kau lihat ini, Sapar!" gumam Girinata pada sang roh. "Lihat baik-baik. Bahkan sampai mati pun kau tak akan lepas dari pemandangan ini," ujar Girinata rendah sembari melesakkan tubuhnya bertubi-tubi dengan semangat membabi-buta pada Marni, istrinya, yang tak bisa menahan lagi untuk tak berteriak-teriak tersiksa oleh kenikmatan duniawi nafsu syahwat tersebut.
***
Bangunan gudang di bagian belakang rumah keluarga Girinata semakin direngkuh dan disembunyikan malam yang pekat. Kegelapan menelan pijaran kuning lampu bohlam dengan bantuan sang kala.