Empat orang beragam usia sedang mendapatkan giliran beronda di malam berkabut ini. Sarung mereka selempangkan di bahu, satu orang melingkarkannya di pinggang sembari menyelipkan sebilah golok disitu.
Gapura desa menyala dalam gelap karena bata merahnya. Kain putih dan kuning yang diikat di sudut-sudut tinggi berkibar pelan oleh angin malam yang malas namun sedikit dingin.
Empat warga Dusun Pon itu berjaga di pos keamanan kecil yang dibangun dari papan tepat di samping gapura desa. Sesap demi sesap kopi terasa memikat rasa. Asap kopi terikat oleh kabut dan mengabur bersama.
Tiba-tiba terlihat tiga sosok misterius menyibak tirai kabut. Tubuh mereka dibaluri cahaya temaram lampu jalan yang tak begitu terang.
Wardhani, dibalut bebatan selembar kain kafan yang simpul di bagian belakang berkibar bagai ekor bintang jatuh, berjalan melenggok di malam hari bersama dua pemuda dusun yang mengikutinya bagai dua orang jongos atau budak. Jelas hal ini adalah sebuah pemandangan yang sama sekali tidak biasa. Keempat peronda bingung harus berpikir dan bersikap seperti apa melihat kemunculan tiga orang secara tiba-tiba tersebut.
Wardhani berhenti beberapa langkah di depan pos keamanan yang lebih nampak sebagai sebuah pondok kayu reot, doyong ke salah satu sisi namun enggan rubuh itu. Lekukan tubuhnya terekspos nyata di depan mata.
Dua pemuda yang mengikutinya memisahkan diri dan langsung menuju gapura tanpa aba-aba dan tanda. Tanpa dikomando pula satu pemuda memanjat gapura bata merah itu dengan cepat dan melepas simpulan kain putih kuning yang belasan jumlahnya. Sedangkan satu pemuda lainnya mulai mengangkat batang linggis dan memukulkan ke salah satu sisi gapura. Kotak-kotak bata kuno itu rompal, berhamburan pecahannya.
"Hei, apa yang kalian lakukan?" teriak pemuda yang beronda, tersentak dengan kejadian aneh ini.
Dua laki-laki yang lebih tua juga langsung mendadak berdiri. Salah satunya, yang melingkarkan sarung di pinggangnya, melepaskan golok yang masih menempel di sarungnya. "Berhenti! Aku bilang, berhenti!" serunya.
Kedua pemuda tentu tak menggubris seruan para peronda yang sebenarnya cukup mereka kenal sehari-hari di dusun ini.
Si pemegang golok meloloskan bilah tajam itu dari sarungnya dan hendak melaju ke arah dua pemuda yang sedang melakukan tindakan vandalisme itu. Namun mendadak tubuhnya terlempar sedemikian rupa oleh kekuatan tak terlihat. Ia menubruk keras dinding papan gubug reot pos penjagaan tersebut.
Wardhani tertawa lepas. Satu tangannya menjulur ke arah laki-laki yang terlempar tadi.
"Wardhani? Apa-apaan ini, nduk? Kenapa ... Bagaimana ...?" peronda yang paling tua dari keempat yang lain terkejut setengah mati sekaligus bingung mampus dengan apa yang barusan terjadi. Ia bahkan sulit mendapatkan pilihan kata untuk bertanya. Bagaimana tidak, dua pemuda yang ia kenal sebagai warga dusun ini tiba-tiba datang dan merusak gapura lama yang meski tak mereka percayai sebagai tempat keramat dan bertuah, tetap saja mereka hormati sebagai bagian dari sejarah dusun. Belum lagi, Wardhani, gadis putri Girinata dan Marni yang didesas-desuskan memiliki gangguan kejiwaan itu muncul dengan tubuh dibebat kain membentuk kemben seadanya di malam berkabut yang lumayan dingin ini. Dan, bila mereka tak salah melihat, gadis itu baru saja melempar rekan ronda mereka dengan kekuatan misterius, tanpa menyentuhnya.
Wardhani menikmati kebingungan dan teror yang para peronda ini alami. Ia mengangkat kedua lengannya. Bebauan melati tercium kuat dari tubuhnya mencacah helai-helai kabut.
Para peronda merasakan bulu kuduk mereka merinding. Udara magis berbau sihir menyergap tiba-tiba dari segala arah bersamaan dengan bermunculannya mahluk-mahluk mengerikan dari balik kabut. Mereka merayap melata, melayang, datang menghilang, kayang, serta tinggi menjulang.
***
Soemantri Soekrasana menggertakkan gigi, merasakan denyut di belakang kepalanya menyebar sampai ke leher dan bahu. Sejenak tadi ia sama sekali tak menyangka bahwa ia akan dipukul dari belakang dan disekap di sebuah bangunan gudang lama dengan dua pemuda berotak ngeres dan bernafsu, yang melakukan segala tindakan didasarkan pada dorongan berahi mereka yang menyentak-nyentak kasar.
Ia berjalan cepat, ingin berlari, namun ilmu Lembu Sekilan yang ia amalkan tadi membuatnya cukup kelelahan karena harus menghindari semua serangan dua pemuda yang hendak membunuhnya dengan pisau dan golok. Akhirnya ia kembali berajalan cepat sembari mengatur kembali nafasnya.
***