Pancajiwa

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #10

Celurit

Kisah berikut melibatkan tokoh-tokoh yang entah bagaimana saling berkaitan dalam samudra kehidupan dan jalan cerita yang penuh dengan rahasia, misteri dan teka-teki.

Saat itu angin malam berhembus gerah, walaupun Sarti berada di luar, di bawah atap langit yang cerah.

Sosok itu berdiri mengambang di depan Sarti. Kakinya yang tak menjejak tanah meneteskan darah ke tanah. Ia menatap Sarti dengan sepasang mata mengerikan yang penuh dengan kepedihan. Mulutnya serasa ingin membuka dan berkata-kata, namun yang keluar adalah kikikan mengerikan.

Sepasang mata Sarti berkaca-kaca. Ada larik-larik ingatan yang berseliweran di atas kepalanya bagai ribuan bintang jatuh menubruk bumi dengan semena-mena.

Sarti lupa kapan tepatnya, ratusan tahun yang lalu yang jelas, dalam sebuah ruang kehidupan lampaunya sewaktu ia menjadi seorang emban, pembantu di sebuah rumah pejabat desa. Di rumah besar itu ia mengurusi beragam keperluan dasar rumah tangga keluarga Pak Carik.

Sarti adalah seorang perempuan dengan kutukan. Ia telah berumur ribuan tahun yang ketika mati di suatu kehidupan, ia kemudian bangkit kembali. Ia selalu merayap bugil bak seorang bayi yang baru lahir keluar dari kuburan dan mendapati dirinya kembali ke dalam tubuhnya yang berumur enam belas tahun.

Meski mungkin ia lupa tepatnya kapan, namun ia tak bisa melupakan nama desa itu, Ngalimunan. Bertahun-tahun kemudian, desa itu berganti nama menjadi desa Obong. Namun perubahan nama itu terjadi jauh setelah Sarti kembali mati.

Chandranaya adalah nama yang diberikan kepada seorang perempuan di desa Ngalimuman oleh kedua orangtuanya. Nama ini dianggap terlalu berani untuk statusnya yang bukan berasal dari darah ningrat, orang kaya, atau pejabat desa di masa itu. Kedua orangtuanya mungkin dahulu memiliki ambisi menjadikan sang putri benar-benar seorang putri.

Di masa itu, warga bawah yang tunduk pada aturan kerajaan, cenderung menamai anak-anak mereka dengan nama-nama yang sederhana karena merasa sebagai orang rendah, kawula. Maka mereka menamai anak perempuan mereka dengan nama-nama hari dalam penanggalan Jawa seperti Ponirah, Wagiyem, atau Legimah.

Tidak dengan Chandranaya. Gadis itu sudah cantik sejak orok. Lirikan mata bayinya nakal. Ketika berumur delapan tahun, tubuhnya sudah terbentuk bagai anak gadis. Umur empat belas, usia matang bagi perempuan di masa itu untuk menikah, Chandranaya sudah sempurna, bagai mangga matang yang siap dipetik.

Pak Lurah, Pak Carik, pemilik kebun tebu, tuan tanah yang menguasai sawah di desa itu, serta seorang prajurit kerajaan Mataram berlomba-lomba untuk menyundul hati sang gadis. Semua ditolak!

Chandranaya, didukung keluarganya yang hidup di sebuah pondok dan gubug reot, masih memimpikan dikawini pangeran kerajaan. Pak Lurah dan Pak Carik terlalu menjijikkan bagi gadis itu. Masak ia mau dijadikan istri ketiga atau keempat? Pikirnya dan tentu saja seragam dengan pemikiran kedua orangtuanya.

Walau pak Carik adalah generasi sekian dari keluarga Ngalimun yang terhormat di desa yang nama keluarganya saja digunakan sebagai nama desa, orangnya sangat licik dan ia adalah pengabdi ilmu gaib, teluh dan yang jelas, sesat. Chandranaya makin jijik dibuatnya.

Sialnya, Pak Carik Ngalimun lah yang paling ngebet ingin menikmati kemolekan tubuh, kemulusan kulit dan keayuan wajah gadis itu. Pandangan matanya saja sudah menerobos masuk ke setiap sela pakaiannya. Hanya diperhatikan saja oleh Pak Carik, Chandranaya merasa ditelanjangi dan dilecehkan.

Sarti maklum dengan rasa risih Chandranaya yang kerap ia saksikan sendiri. Selain itu, Chandranaya bukan satu-satunya perempuan yang dijadikan obsesi oleh si Carik cabul beristri tiga itu.

Sebagai seorang pembantu, Sarti yang berumur enam belas tahun saat itu, juga menjadi sasaran nafsu bejat sang juragan. Namun, suatu waktu ketika Pak Carik Ngalimun nekad ingin menjajal tubuh ramping Sarti di dapur, dengan mudah Sarti menempelkan pisau dapur berkarat ke kejantanannya dan mengancam akan memotong benda itu menjadi empat bagian ... secara perlahan.

Sejak saat itu, Pak Carik tak berani menyentuhnya lagi. Sialnya, tuannya itu juga tak berani memecatnya, karena Sarti adalah emban favorit istri kedua Pak Carik yang terkenal memiliki pengaruh kuat di desa. Maklum, istri keduanya itu adalah puteri satu-satunya juragan beras di desa tetangga, desa Pancasona namanya.

Sang istri kedua Pak Carik, walau membiarkan suaminya untuk terus kawin-mawin - asal jangan coba-coba menceraikannya - bagaimanapun merasa jengah dengan niat sang suami untuk mengawini Chandranaya. Padahal bisa saja ia mengawini anak dua belas tahun dari desa Prajuritan atau perempuan manapun yang ia bisa dengan mudah.

Sang istri kedua Pak Carik itu merasa sang perempuan, Chandranaya, dapat membawa petaka di desa. Ia memberitahukan kecemasannya ini kepada Sarti. Bukan mengapa, gadis cantik empat belas tahun yang berwajah dewaaa nan matang serta bergaya sok berkasta tinggi itu bahkan juga menarik perhatian anak pertama suaminya dari istri pertama yang juga bernama sama dengan suaminya, Ngalimin, sesuai budaya keluarga, yang masih sangat muda itu.

Benar pula apa yang dikhawatirkan sang istri kedua.

Saat itu Selasa Kliwon, malam hari, tak lama setelah matahari terbenam, Chandranaya sedang berjalan seorang diri menyusuri tepian kali yang digunakan sebagai saluran irigasi yang bersumber di sungai Pratama.

Lihat selengkapnya