Girinata melangkahkan kakinya diantara semak dan rerumputan bagai sesosok raksasa menyibak orang-orang kerdil. Ia begitu percaya diri. Angin dingin yang menusuk bagai jarum-jarum halus di lipatan kabut sama sekali tak berpengaruh apa-apa pada tubuh gelap nan berotot liat telanjangnya. Sebaliknya, kemudaannya membuat badannya serasa panas terbakar oleh semangat dan niat yang membara di dalam sana.
Hawa dan energi gaib serta sihir dapat ia rasakan dengan nyata menembus masuk ruang dunianya, bahkan bisa dikatakan aliran deras kekuatan itu menerjang Dusun Pon tanpa penahan lagi. Wardhani pastilah sudah berhasil menyelesaikan penghancuran lima benda keramat yang diberinama Pancajiwa di empat tempat berbeda itu, pikirnya.
Sudah saatnya melahap sampai kenyang dan mereguk sampai puas energi yang sudah ia idam-idamkan sedari lama. Ini adalah waktunya untuk menutup masa lalu dengan masa depan yang sesuai dengan segala impiannya. Gerbang telah terbuka lebar. Tiada seseorang atau sesuatupun yang mampu mencegah, apalagi menghadangnya.
Dulu, dulu sekali, Girinata memang skeptis dengan kepercayaan tetua warga Dusun Pon mengenai hal-hal gaib. Ia sama saja dengan banyak pemuda dan warga dusun yang haus akan modernitas dan pemujaan akan uang.
Kedua orangtuanya, terutama sang ibu, Dasimah, dekat sekali dengam aktifitas supranatural. Ibunya bahkan terang-terangan mengatakan kepadanya, "Girinata, kau pikir kekayaan kita seluruhnya dari hasil kerja keras? Tidak, cah lanang, itu semua berkat ilmu sihir Ibu."
Girinata tak bisa membedakan apakah sang ibu sedang bercanda atau menggodanya, meski bebauan bunga, kemenyan atau dupa sudah bagaikan parfum pewangi rumahnya. Namun, ketidakpedulian Girinata pada hal-hal gaib, terutama yang dipercayai sang ibu perlahan meruap ketika hubungannya dengan sang kekasih ayu nan binal anak dalang Sapar Nataprawira, Marni, ditolak mentah-mentah oleh bapak sang pacar tersebut. Yang paling membuatnya sakit hati adalah ia merasa dihinakan. Anak laki-laki kaya dan penuh kuasa di Dusun Pon itu dihajar dan ditampar dengan selop ketika ia dan Marni sedang bercinta di samping salah satu tempat keramat dusun.
"Bu, kalau Ibu benar bisa melakukan ilmu sihir, aku ingin Ibu membunuh Sapar Nataprawira!" ujarnya malam itu dengan wajah terluka dan terhina.
Ibunya hanya tersenyum misterius dan mengatakan, "Ibu tahu cepat lambat kau akan datang kepada Ibu, cah lanang. Anggap saja pekerjaan ini telah selesai. Ambil perempuan itu, jadikan istrimu. Bapaknya tak akan dapat menghalangimu lagi. Tunggu dua atau tiga hari lagi dan akan kau lihat apa yang akan terjadi pada dalang itu."
Dan itulah yang terjadi. Sang dalang mati. Girinata dan Marni kawin.
Tetapi, rasa percaya Girinata pada kekuatan gaib sang ibu tidak dibarengi dengan ketaatannya. Ia masih setengah hati mempelajari ilmu sihir yang diberikan sang Ibu hari demi hari. Ketika sang ayah wafat, perlahan kekayaan mereka menghilang. Tanah dan tempat usaha mulai dijual.
"Bukankah ibu bilang kekayaan kita berasal dari ilmu sihir Ibu? Namun setelah Bapak wafat, kita mulai perlahan miskin. Apa itu bukan berarti bahwa Bapak yang selama ini adalah seorang pekerja keras, sedangkan aku dari kecil menjadi pemanja yang tak dapat bekerja?" protesnya kepada sang Ibu.
Seperti biasa, sang ibu tertawa. "Tumbal, cah lanang, jawabannya. Tumbal," Girinata mengernyitkan keningnya.
"Ketika Bapakmu meninggal, ilmu Ibu harus dilapisi kembali, harus diturunkan kepadamu, cah lanang. Dan, kau, harus mengorbankan anak pertamamu kelak ketika ia telah menginjak usia remaja," lanjut sang Ibu santai.
Girinata terkesiap dengan penjelasan Dasimah tersebut. "Ibu sadar bukan dengan apa yang Ibu katakan barusan? Mengorbankan anak sebagai tumbal? Lalu, apakah Ibu dan Bapak dulu yang mengorbankan mendiang Mas Anggara? Bukankah ia wafat karena sakit ketika aku masih sangat kecil?"