Kemeja berlengan lengan pendek Soemantri Soekrasana basah kuyup oleh keringat. Angin malam berkabut yang mendadak berubah dingin menusuk itu menghembuskan hawa beku menempelkan keringatnya kembali ke tubuhnya. Mantra ajian Lembu Sekilan telah lamat-lamat ia gumamkan kembali, apalagi melihat kilauan bilah logam keris yang mengkilat di genggaman tangan kanan Girinata yang telah memuda itu. Gemerlap keris Girinata bukan sekadar dari lampu terang yang dipancarkan rumah Pak Guru Johan, namun juga dari nafsu membunuh yang terpancar dari tubuh laki-laki itu.
"Jahanam yang satu ini tak mau mati, rupanya," gumam Girinata.
Darah Girinata yang sekarang menjadi darah muda itu menggelegak penuh semangat dan amarah. Kerisnya ia genggam semakin kuat.
"Kadang pekerjaan penting harus kau lakukan sendiri," gumamnya lagi kepada diri sendiri. "Aku akan habisi kau sekarang juga, Soemantri!" seru Girinata kemudian.
Tubuhnya langsung meluncur maju bagai desingan anak panah lepas dari busurnya menyerang Soemantri Soekrasana.
Kekuatan laki-laki yang telah kembali muda ink jelas telah berlipat ganda. Tungkai kakinya menjadi semakin kuat menopang dan melonjakkan tubuhnya bagai seekor kijang menyerang. Kedua bagian otot lengannya menegang meregang memberikan hentakan keras pada gerakan tangannya.
Namun, ujung keris Girinata tak mampu mengenai sasaran: sejengkal dari dada Soemantri Soekrasana. Tidak hanya itu, tikaman-tikaman keris selanjutnya malah membuat Girinata semakin berang. Dukun muda itu seakan-akan berperan menjadi wayang yang digerakkan oleh tangan seorang dalang tak kasat mata yang lincah. Harga dan kepercayaan diri Girinata seakan dihajar habis-habisan oleh pemuda dukun ini.
Ia begitu kesal karena kejayaannya terganggu oleh hal ini. Karena tak mampu menahannya lagi, ledakan nafsu membunuh Girinata membuatnya menyerang lebih banyak, lebih cepat, lebih liat. Hanya saja Soemantri Soekrasana tetap saja dua kali lebih cepat sehingga menjadi dua kali lebih mengesalkan. Tak lama Girinata kemudian menyadari bahwa ilmu apapun yang dimiliki musuhnya pastilah sebuah kemampuan yang mampu meramal pergerakannya bahkan sebelum ia memulai.
"Pak, kurasa dia menguasai Lembu Sekilan!" sebuah suara seruan terdengar menyibak malam di belakang Girinata.
Marni berdiri di dekat medan pertempuran. Tubuhnya dibalut kemben sebatas paha dari kain kafan. Sinar lampu yang terang berkilatan bermain-main di permukaan kulitnya yang terang dan indah karena kembali meremaja tersebut.
"Dia lolos dari gudang. Dua laki-laki bodoh suruhan kita itu dikalahkannya, padahal ia masih dalam keadaan terikat di kursi rotan. Percuma menyerangnya, Pak. Lembu Sekilan tak mungkin dikalahkan dengan serangan-serangan biasa, tak peduli seberapa sering dan cepat kita menyerangnya. Kita harus melawannya dengan ilmu gaib," lanjut Marni.
Girinta berpaling ke arah datangnya suara. "Bangsat, bajingan, asu buntung! Pantas bedebah ini dengan gampangnya berkelit dari serangan-seranganku," rutuk Girinata.
Meskipun terdengar kesal dan gusar, Girinata mendadak kemudian malah tertawa keras-keras. Kata-kata sang istri yang menjelaskan untuk melawan Soemantri Soekrasana dengan ilmu gaib menjentikkan ide besar di kepalanya. "Luar biasa ... Luar biasa ... Ayo, ayo. Biar kujajal sekalian kemampuanku dan istriku, Soemantri," ujar Girinata di sela-sela tawanya.
Girinata kemudian menyipitkan kedua matanya dan merapal sebuah mantra. Soemantri Soekrasana tak dapat mendengarnya. Namun ketika ia berhasil mendengarnya, sepasang mata Soemantri Soekrasana sontak membulat terbuka lebar karena terkejut. Begitu juga dengan Marni.
"Pak, pak e ... Apa yang akan kau lakukan?" tanya Marni.
"Kau harus membantuku, bune," ujar sang suami sembari menatap istrinya dengan penuh makna. "Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa dukun itu harus kita lawan dengan ilmu gaib?"
Entah mengapa, Marni terlihat enggan dan ragu. Ia bahkan ketakutan dan tak nyaman. Nafasnya menjadi menderu dan sedikit tersengal-sengal.