Pancajiwa

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #14

Cakar

Sundel bolong itu kembali melayang mengambang sepuluh jengkal dari atas bumi. Kain putih gaib yang membungkus tubuhnya bagai jubah berkibaran seperti lidah api walau tak ada angin kencang yang terasa. Rambut panjang menumpuk kusut masainya menjulur turun ke bawah.

Kulitnya yang tak tertutup jubahnya itu berwarna pucat melebihi putihnya busananya, termasuk sepasang lengan yang kesepuluh jarinya dihiasi cakar-cakar tajam dan hitam mengalahkan kelamnya malam.

Soemantri Soekrasana menggertakkan giginya dan menatap Marni si sundel bolong dan Girinata dengan tajam bergantian.

Girinata terkekeh. Soemantri Soekrasana meludah ke tanah. "Keluarga ular beludak. Kali ini aku benar-benar tak sampai berpikiran sejauh ini. Tidak hanya menggunakan anak kandung sebagai tumbal, istrimu sendiri kau karyakan untuk mencapai nafsu biadabmu, Pak Girinata," seru Soemantri Soekrasana.

Girinata semakin tersenyum lebar. "Ibuku sendiri yang mengatakan bahwa kelak aku, Marni, dan Wardhani tentunya, tidak akan terpengaruh dengan ruang dan waktu. Kekayaan hanyalah secuil kenikmatan yang bisa kami dapatkan. Tapi waktu ... Nah, nah, itu sesuatu yang sama sekali tak terukur, nak. Lagipula ibuku, bahkan termasuk Kinanti, mereka akan terus melayang-layang di dunia fana ini bersama kami, bukan?" 

"Baik. Bila benar memang seperti ini adanya, aku juga semakin berniat untuk tak sungkan-sungkan memberikanmu dan anak perempuanmu itu pelajaran dan hukuman yang setimpal," seru Soemantri Soekrasana geram.

"Anak bau kencur sepertimu? Kencing saja belum bisa lurus mau mencoba cari masalah denganku, bocah? Kau pikir dengan memiliki kemampuan mantra pemanggil dan penjinak mahluk halus serta menguasai Lembu Sekilan membuat dirimu hebat? Mau jadi polisi gaib, kau?" Mata Girinata membelalak menantang. Otot-ototnya mengeras. "Marni ... Bunuh orang itu!" perintah Girinata kepada istrinya yang telah berubah menjadi sosok sundel bolong tersebut.

Tanpa mempertontonkan mimik perasaan sama sekali, Marni sang sundel bolong menghambur cepat ke arah Soemantri Soekrasana. Kain jubah putihnya berkelebatan menonjol diantara kepekatan kegelapan.

Serangan fisik memang tak akan mampu melukai Soemantri Soekrasana selama Lembu Sekilan masih dimantrakan. Namun lain ceritanya bila sosok gaib hantu sundel bolong menyergap dengan sepuluh jari bercakarnya. Lembu Sekilan nampaknya tak dapat mendeteksi serangan semacam itu. Inilah yang dimaksud Marni sebagai sebuah serangan gaib namun diinterpretasikan berbeda oleh Girinata.

Maka Soemantri Soekrasana melompat kesamping sejauh mungkin. Tubuhnya menubruk jambangan tanaman milik istri Pak Guru Johan. Lengannya terluka oleh pecahan jambangan dari tanah liat di berbagai tempat. Ia sendiri sedikit merasa bersalah karena menghancurkan benda-benda itu, walau ia yakin istri Pak Guru Johan pasti akan memaafkannya karena ia terpaksa melakukannya agar tak mati dicekik dan dicakar sesosok sundel bolong.

Marni menghilang!

Soemantri Soekrasana berdiri awas, melihat sekeliling namun tak menemukan sosok yang menyerangnya tadi selain Girinata yang berkacak pinggang dan tertawa puas. "Ada apa sih dengan para orang jahat yang selalu ceria?" batinnya kesal melihat tingkah laku lawannya tersebut.

Soemantri Soekrasana hendak merapal mantra untuk membuat sang sundel bolong muncul dan terbaca oleh radarnya ketika Marni sudah kembali muncul dan melayang semeter di atas kepalanya kemudian menghujam turun.

Soemantri Soekrasana berguling sampai dua kali ke depan. Punggungnya perih. Ada koyakan lebar di sana akibat terkena cakaran sang sundel bolong.

Marni kembali menghilang. Jubah putihnya sempat terlihat menyelip diantara tanaman istri Pak Guru Johan yang berbatang panjang-panjang.

"Mengapa hantu perempuan selalu terlihat berdaster putih panjang? Padahal mereka dikuburkan dengan dipocongi, atau dengan baju yang sama sekali berbeda," gumamnya berbicara pada diri sendiri. "Itu karena hantu tak terpenjara bentuk fisik. Kemunculannya di dunia membawa bentuk-bentuk yang tercipta dari persepsi dan sudut pandang manusia. Ia akan berdaster putih panjang seperti ini untuk memuaskan keinginan visual manusia yang mewakili rasa takut dan teror. Lalu, si kampret Girinata menambahkan bumbu kejahatan dalam sosok itu. Mulai sekarang, pikir baik-baik, mana yang lebih mengerikan. Manusia atau hantu? Bahkan setan iblis laknat penghuni kerak neraka pun sebenarnya tak perlu banyak bekerja untuk membuat manusia saling benci dan saling bunuh. Hanya butuh dorongan seupil buat manusia terbakar angkaramurka," gumamnya masih pada diri sendiri, menyediakan jawabannya sendiri seakan memberikan pengertian pada orang lain.

Soemantri Soekrasana melirik ke arah pecahan jambangan bunga dari tanah liat kemudian memungut beberapa. Pandangannya beredar ke segala penjuru. Marni masih belum terlihat. Tepat ketika rambut-rambut di lengannya berdiri sebagai tanda kehadiran mahluk gaib adikodrati, Soemantri Soekrasana melemparkan pecahan tajam dan lancip jambangan tanah liat dengan kuat ke arah Girinata.

***

Wardhani diam terpaku. Permukaan kulitnya berdesir, ia merasakan sesuatu sedang terjadi di sudut dusun. Dua pemuda budaknya bertelanjang dada. Peluh membasahi tubuh mereka dengan latar belakang pemandangan gapura bata merah yang hancur lebur hampir rata dengan tanah. Api juga membumbung dari pos penjagaan keamanan dusun. Para warga yang mendapatkan giliran malam ini berserakan di tanah. Mereka syok dan terluka secara mental sehabis menyaksikan iblis berupa-rupa berkeliaran tepat di depan mata mereka. Belum lagi kekuatan Wardhani yang mendadak berubah menjadi seorang ratu dedemit yang mengintimidasi baik dengan aura maupun kekuatan gaibnya.

Kedua pemuda itu melihat sekeliling, seperti bangga atas hasil pekerjaan mereka, kemudian berjalan dengan percaya diri mendekati Wardhani.

Lihat selengkapnya