Pancajiwa

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #16

Dinding Pertahanan Magis

Pak Guru Johan melihat istrinya datang tergopoh-gopoh menggendong anak yang paling kecil serta menggandeng lengan anak tertua mereka setengah menyeret. Tak lama, ketujuh orang lainnya ikut memperhatikan kedatangan rombongan ibu dan anak itu ke bangunan joglo tempat mereka sedang berbicara.

Sontak Pak Guru Johan meloncat dari duduknya untuk menyambut keluarganya itu. "Kamu kenapa? Kenapa dengan anak-anak, bu?" tanya Pak Guru Johan demi melihat wajah pucat istri dan tangisan kedua orang anaknya.

Lainnya ikut berdatangan dan sama-sama menyaksikan respon perempuan beranak dua warga asli dusun ini tersebut. Istri Pak Guru Johan terdiam kaku, bibirnya hilang merahnya, berubah menjadi seputih daging ayam potong yang telah dibersihkan. Ia memandang wajah suaminya, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling seakan butuh waktu untuk menyerap informasi dan realita.

Tak lama wajahnya yang kaku berkerut dan isakan tangis pecah. Ia memeluk erat suaminya, begitu pula kedua anaknya yang terhimpit diantara kedua orangtua mereka. Sembari terisak, dengan sangat terbata-bata istri Pak Guru Johan berkata, "Pakdhe Giri ... Muda lagi. Wewe ... Wewe gombel. Anak kita ... Mau dibunuh, Pakdhe Giri jadi muda ...," ujarnya.

Para warga dusun yang berkumpul di tempat itu kebingungan dengan ucapan patah-patah istri Pak Guru Johan tersebut. Namun berdasarkan pengalaman yang beberapa orang dapati malam ini, mereka menafsirkan ada kemungkinan istri dan anak-anak Pak Guru Johan baru saja mengalami hal gaib atau penampakan seperti yang mereka juga alami.

Pak Guru Johan tak bisa berkata apa-apa. Ia juga sebenarnya bingung harus melakukan apa pun tak menyangka kejadian yang sedang dibicarakan para tokoh dusun di rumah joglo malam ini terjadi pada keluarganya sendiri.

"Kita akan kerumah Pak Guru Johan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi," ujar salah seorang tokoh dusun yang tak membutuhkan waktu lama untuk diamini sisanya.

Tapi mendengar hal ini, istri Pak Guru Johan mendadak tersentak sadar secara penuh. "Jangan ... Jangan ke rumah kami. Ada banyak sihir disana. Pakdhe Giri, Pakdhe Giri yang ... dia yang membawa masalah ke dusun ini. Ia tadi hendak membunuh anak bungsuku sebelum wewe gombel muncul," tukas si istri Pak Guru Johan. Ucapannya kali ini sedikit lebih dipahami yang meski tetap menyisakan misteri. 

Selagi semuanya terdiam dalam sepersekian detik untuk memutuskan apa yang harus mereka pikirkan dan lakukan, sekoyong-koyong muncul sekelebatan bayangan sosok berbalut kain putih melompat, meloncat dan berlari cepat seakan menunggangi angin, melintas ruang satu jalur di depan mata mereka kemudian menghilang dalam sempilan malam.

Beberapa warga yang paling tua jatuh terduduk karena lemas dan syok dengan apa yang mereka barusan lihat. "Wardhani ...," ucap satu orang sepuh yang jatuh terduduk itu pelan.

***

Angkasa serasa retak terbelah. Cemeti energi melecut kesana kemari setelah Girinata mencatut bilah keris pusaka Mpu Gandring dari betis astral sang istri yang sudah berbentuk sundel bolong itu.

Genderuwo yang menjulang setinggi atap menggeram menunjukkan sepasang taringnya yang mencuat keluar dari bibir tebalnya. Tubuh berbulunya bergetar kesal dengan hawa mengancam dan mematikan yang bercipratan keluar dari bilah keris sakti itu. sedangkan sang wewe gombel dengan dada menggantung panjangnya mendesis penuh amarah lebih kepada sang pemegang pusaka. Sepasang matanya melebar melotot ingin melompat dari rongganya. Lidah sang wewe gombel menjulur panjang meneteskan liur bagai seekor anjing betina yang siap menerkam.

Arwah-arwah gentayangan berbentuk kuntilanak yang berdiri di cabang sebuah pohon serta tuyul-tuyul bertubuh anak-anak berkepala besar semua mengkerut takut oleh cahaya kebiruan yang berkedap-kedip itu, tidak terkecuali si sundel bolong yang tubuhnya melayang menjauh dari Girinata yang kedua tangannya menjadi semakin legam menjelaga, bermain-main bersama kekuatan sang pusaka.

Lihat selengkapnya