Girinata menutupi wajahnya dengan lengan atasnya dikarenakan gelombang energi yang membenturnya. Dengung teriakan magis Chandranaya seperti membangunkan kembali semangat para mahluk gaib yang tadi sempat ciut karena kekuatan mengerikan keris Mpu Gandring yang bersinar kebiruan.
Kedatangan sang kuntilanak merah melayang dan merentangkan kedua tangannya lebar kesamping itu laksana bongkahan batu besar yang jatuh memecah arus sungai.
Marni terbangun. Sepasang matanya mencoba membantu kesadarannya untuk kembali. Sepersekian detik kemudian ia sadar akan keadaanya dan segera menutup kembali tubuhnya yang tersingkap kemudian menoleh ke arah sang suami yang berdiri menutupi wajahnya. "Mana Wardhani? Kuntilanak merah ini terlalu lancang!" ujar Girinata ke arahnya.
"Kau mau melindungi tuanmu itu, sundal? Kau sudah menjadi budak Wardhani, anak perempuanku. Jadi jangan coba-coba bertingkah!" ujar Girinata kini memalingkan wajah melihat langsung ke arah sang kuntilanak merah. Ia memarahi arwah gentayangan itu bagai membentak seorang anak kecil saja. Tapi memang Girinata cukup kesal. Soemantri Soekrasana mengganggu langkah-langkah rencanya yang tinggal seujung kuku saja. Kedatangan sang dukun tadi membuat wewe gombel menghalangi tindakannya untuk membunuh anak kandung Pak Guru Johan sebagai bagian dari tumbal paripurna ilmunya.
Tadi, memang keris pusaka Mpu Gandring yang dibawa dukun muda itu terbukti mampu menakuti bahkan melukai para mahluk astral dan adikodrati yang jumlahnya banyak berkumpul di tempat ini, terutama sang istri ketika dalam bentuk sundel bolong. Tapi dengan tertusuknya Soemantri Soekrasana dengan kerisnya itu sendiri, harusnya para arwah tak memiliki desakan apapun untuk lancang dan berani terhadap dirinya.
"Ia adalah arwah, Pak," ujar Marni pelan dan dingin. "Ia dan mahluk-mahluk lain tak berpikir seperti manusia," lanjutnya, masih dingin.
Girinata berpaling ke arah sang istri dan memandangnya tajam. "Kau marah dan kesal denganku, bune, karena aku mengubahmu kembali menjadi sundel bolong, arwah seperti mereka?" tak ada jawaban keluar dari mulut sang istri.
"Kau bisa hidup sebagai manusia dan menikmati semua ini, itu karena aku. Aku ... bune! Jangan lupa siapa dirimu sebenarnya!" tegas Girinata.
Marni menundukkan kepala tepat ketika Chandranaya sang kuntilanak merah berhenti melepaskan energinya.
Di belakangnya, Soemantri Soekrasana perlahan berdiri.
Keris Mpu Gandring tertancap menembus tas selempangnya yang berisi bebungaan, botol air mineral, kertas-kertas mantra serta sehelai dua pakaian ganti. Keris pusaka itu berhenti menyalakan warna birunya karena bersentuhan dengan beragam benda di dalam tas selempang Soemantri Soekrasana karena disanalah biasanya keris itu bernaung selama dibawa oleh dukun muda tersebut, menjaga energinya tak selalu meletup-letup. Soemantri Soekrasana juga jatuh terkapar pada dasarnya lebih karena sebelumnya tenaganya tersedot habis-habisan oleh ajian Waringin Sungsang sekaligus energi keris Mpu Gandring, bukan karena tertusuk keris itu. Bahkan, tak seujung kukupun kulitnya terluka oleh bilah tajam belati melengkung tersebut.
Soemantri Soekrasana mengambil carikan kain dari tas selempangnya, mencabut keris yang mengoyakkan sedikit bagian tasnya yang memang sudah kumal itu, dan membungkus keris itu sebagai warangkanya.
Ia sama sekali tak memandang ke arah Girinata yang tercengang kaget atau Marni yang mendongak ke arahnya terkejut pula. Sembari memasukkan bilah keris ke dalam tas selempang kumal dan tercabiknya, Soemantri Soekrasana berbicara kepada Chandranaya yang masih mengambang di udara sedangkan kedua matanya memerah darah penuh dengan amarah, "Aku benar-benar hampir kehabisan tenaga. Tapi aku tak akan berterimakasih padamu. Aku juga tak akan menggunakan Mpu Gandring karena tak mau kau dan yang lain kabur, selain karena aku juga pada dasarnya kehabisan daya serta sudah lelah mampus," ujarnya santai.
Girinata sempat mendengar sedikit kata-kata Soemantri Soekrasana yang bertaburan di udara. Walau ia hanya menangkap potongan kata-kata, namun pada dasarnya bapak Wardhani ini paham bahwasanya sang lawan tidak terluka parah dan sekarang dalam keadaan baik-baik saja. Akibatnya, kekesalannya memuncak ingin meledak bagai lahar yang melompat dari kerongkongan gunung berapi.
Segala arwah, roh, hantu, jin, siluman dan iblis yang berenang-renang di dimensi realitas ini seakan memandang Girinata dengan tatapan gaib mereka, menunggu langkah laki-laki itu selanjutnya, menantangnya.