Pancajiwa

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #18

Gerbang Gaib

Wardhani menutup matanya dan melepaskan semua unsur gaib dalam jiwa dan raganya. Sepasang mata dengan bulu lentik miliknya itu membuka perlahan. Pandangan gaibnya melihat angkasa malam berubah warna menjadi jingga terang. Ada lubang dimana-mana, terbakar membuka bagai api yang melahap bagian tengah selembar kertas.

Dusun Pon adalah sebuah portal, gerbang gaib, sebuah wilayah tempat lewat dan menembusnya mahluk-mahluk astral dan semua kegiatan sihir. Tidak hanya hantu yang melompat masuk dari totolan rekahan-rekahan besar itu, tapi juga segala jenis 'kiriman'.

Jarum, paku, gulungan rambut melesat cepat di depan mata Wardhani disertai bau busuk bangkai dan amis darah. Orang-orang dengan niat jahat penuh dendam dan dengki melakukan teluh dan santet kepada orang-orang yang mereka hendak celakakan. Dengan hancurnya empat tempat keramat di dusun ini, maka pintu terbuka lebar dan dijadikan semacam jalan pintas atau shortcut menyerang pribadi-pribadi yang ingin orang-orang sengsarakan.


Mahluk halus berupa-rupa bentuk berdeburan ke segala arah. Hantu arwah penasaran, hantu roh penuh dendam atau kesedihan serta hantu sukma budak terpenjara berjumpalitan dari lubang-lubang sobekan dari dunia lain itu.

Wardhani mengangkat kedua tangannya, seperti seorang panglima perang yang sedang meredakan teriakan tempur para prajuritnya.

Para mahluk halus mengambang di udara, memotong tali-temali kabut.

Wardhani menyaksikan empat sosok mahluk halus dengan hawa gaib agung sekaligus mengerikan secara khusus menunjukkan perhatian dan minat kepadanya. Satu sosok siluman perempuan berkaki kuda, bertubuh segelap tembaga dengan otot-otot liat dan sepasang dada hampir rata serta berambut panjang serupa surai. Wajahnya hampir tak menyisakan rupa manusia karena menyerap ciri-ciri binatang. Sosok lain adalah seekor harimau belang berkepala seorang perempuan. Garis-garis tegas wajahnya seakan memaksa menyeimbangkan dengan aura ganas tubuh binatangnya. Sosok siluman betina lain bertubuh ular dari pinggang ke bawah, sedangkan sisanya berwujud perempuan ayu berbusana ala putri keraton Jawa kuno, hijau berbenang emas. Ada mahkota mutiara mutu manikam berkilauan menghiasai kepalanya. Khusus kepada siluman ular betina ini, Wardhani mengangguk hormat, sadar bahwa ia adalah salah satu prajurit perempuan bawahan Nyi Blorong yang sedang melewati lini ruang dan waktu diantara dunia untuk melakukan sebuah tugas tertentu, namun berhenti mampir sejenak karena melihat letupan energi yang membuka portal antar dimensi di dusun ini. Sosok terakhir, siluman jantan berparas tampan namun bertubuh burung gagak sebesar tubuh manusia biasa. Sepasang kakinya mencengkram udara dan kepak sayapnya terentang lebar memberikan kesan akbar dan berkuasa.

Wardhani walau telah mengukuhkan dirinya sebagai seorang ratu dedemit, tetap tak mau gegabah jemawa dan dengan bodohnya lancang menghadapi keempat mahluk halus dengan tingkatan tinggi diantara hantu-hantu dan mahluk jahanam lainnya.

"Sembah hormatku kepada para tetua sekalian," sapa Wardhani. "Namaku Wardhani. Aku adalah juru kunci gapura gaib ini."

"Aku tahu siapa kau, nduk," desis sang ular betina. Ekor panjangnya meliuk-liuk di atas tanah, melata, menyentuh tanah namun bagai berkubang di lumpur yang secair air. "Katakan saja apa maumu, aku memperhatikan," lanjutnya. Sosok siluman lainnya tak mengucapkan satu patah katapun, namun hawa mistis mereka menyentuh pori-pori kulit Wardhani, menyampaikan bahasa yang jauh lebih dimengerti olehnya daripada kata-kata oleh lidah manusia. Semuanya sependapat dengan sang prajurit Kerajaan Laut Selatan itu, menunggu apa yang hendak disampaikan oleh sang ratu dedemit juru kunci gerbang gaib Dusun Pon.

Wardhani melepaskan kemanusiaannya. Manusia yang dibangun atas peradaban dan moral menciptakan aturan dan hukum serta batasan-batasannya. Masyarakat disusun dengan etika dan estetika. Namun, Wardhani merasa jauh melampauinya. Ia agung, ia adikodrati, ia bebas tak terkekang, ia murni dan alami bagai letusan gunung, retakan bumi oleh gempa, pecahan debur ombak menampar karang dan kelebatan kilat memerciki langit.

"Bantu aku menguasai hidup dan mati!" ujar Wardhini pendek. Kedua lengan rampingnya terentang. Lehernya mendongak, pasrah namun mapan menerima anugrah kegelapan.

Keempat siluman itu paham apa yang harus mereka lakukan. Mereka tak takluk pada manusia perempuan muda ini, pun tak takut padanya. Mereka hanya menawarkan kepada jiwa-jiwa gelap mahluk utama ciptaan Ilahi itu apa yang dapat mereka beri demi memuaskan dahaga nafsu. Bahkan Wardhani pun paham, bahwa ini adalah sebuah tawar menawar biasa. Tiada tuan, tiada emban. Hanya dua pihak yang saling menguntungkan.

Lihat selengkapnya