Untaian kabut tersibak oleh hawa magis yang kental. Lapisan-lapisan putih tipis itu seperti membelah ngacir oleh lewatnya kekuatan sihir yang datang berbondong-bondong. Para warga yang masih berkumpul berdiam diri, tak benar tahu apa yang harus dilakukan, namun sadar ada sesuatu yang sedang terjadi di luar sana.
Mereka yang masih kuat tak mengantuk saling berbicara pelan, tentang masa lalu dan masa depan Dusun Pon. Menyesali segala hal yang harusnya masih dapat mereka lakukan atau hindari. Para tetua memandang dua anak Pak Guru Johan yang tertidur di samping ibu mereka di pendopo dusun ini.
Mereka saling bertukar pandang memberikan sinyal komunikasi pemahaman bahwasanya mereka harus tetap berjaga sembari menunggu nasib memunculkan diri dan mengumumkan keras-keras kepada mereka tentang keputusan akan diapakan tempat mereka ini.
Api yang semula membakar di satu sudut dusun melukiskan warna jingga di kelam malam dengan lapisan kabut putih sebagai hiasannya sudah bisa dikatakan hilang sama sekali. Warga dusun bersyukur karena tak perlu mempersoalkannya lagi. Mereka tak perlu keluar rumah beramai-ramai bergalau-galau heboh menyelesaikan perihal itu lagi. Biarlah memang bila yang terbakar harus menjadi arang dan abu dibanding malam yang pekat dengan sihir dan mahluk-mahluk gaib yang berseliweran liar itu mencengkram jiwa mereka ketika mereka berada di luar rumah.
Nyatanya memang benar adanya kekhawatiran mereka itu. Di jalan setapak dengan hutan bambu di kedua tepiannya, empat mahluk adikodrati berpendaran dalam gelap diselimuti rekahan kabut putih. Seorang gadis dengan kulit gelap indah, tubuh ramping molek menunjukkan kematangannya sedang berdiri dengan awas membelakangi mahluk-mahluk itu gaib itu. Di depan sosok gadis muda tersebut, ada sosok kuntilanak merah melayang dan merentangkan kedua tangannya ke samping dengan penuh ancaman bagai seekor merak mengembangkan ekornya serta membusungkan dadanya.
Sepasang mata hantu betina itu melotot murka dengan darah menggenang di permukaan bulatan mata laksana danau. Cairan merah kental itu meluap juga sampai menetes deras keluar dari mata terus mengalir ke pipinya yang sepucat kapas, dagu, kebaya merah, jarit dan berakhir di ujung kedua kaki telanjangnya yang tak menyentuh tanah.
"Ada apa dengan kalian? Mengapa mahluk seagung kalian mengkerut seperti lubang pantat?" serapah Wardhani menggunakan bahasa batinnya terhadap empat entitas supranatural yang bersembunyi di belakang tubuhnya.
Tentu tak ada jawaban yang jelas selain geraman, kaokan, desisan dan ringkikan mengerikan. Wardhani menatap sang kuntilanak, lalu kemudian berganti pada Soemantri Soekrasana yang terlihat lelah namun tak acuh.
Wardhani menggeretakkan giginya karena geram. Wajah pemuda dukun itu terpampang nyata ketampanannya sekarang setelah rambutnya yang basah oleh keringat tersibak. Garis-garis kemudaannya tertimpa bayangan ketegasan, mungkin oleh waktu dan pengalaman kerasnya. Tak heran dalam usia begitu muda, ia telah menjadi seorang dukun yang hebat dan lihai. Sepasang mata Soemantri Soekrasana yang pada dasarnya teduh itu selalu terlihat tajam dan siaga, selalu bergerak-gerak awas.
Wardhani semakin sebal karena harus menyia-nyiakan barang bagus seperti itu. Padahal, ia bisa meminta kedua orangtuanya untuk memberikan Soemanti Soekrasana kepada dirinya, sebagai hadiah, sebagai piaraan. Manalagi ia belum pernah merasakan sejatinya sentuhan lawan jenis secara sukarela, bukan sebagai pemancing belaka.
Tapi kini, pemuda itu benar-benar menyulitkannya. Ia sakti, cerdas, serta mendapatkan perlindungan dari si hantu perempuan sundal ini, pikirnya. Tak ada cara lain, ia harus mengerahkan segala kemampuannya untuk tidak hanya menaklukkan dan melumpuhkan dukun muda itu, tetapi juga membunuhnya. Termasuk si kuntilanak merah yang harus dilenyapkan dari segala dunia, dari segala dimensi.
Wardhani merapal mantra dan mengeraskan otot-otot di tubuhnya. Wajah cantiknya itu mendadak kembali berubah menjadi mengerikan karena tulang pipinya tertarik ke belakang dengan kemunculan barisan gigi lancip mata gergajinya menyobek gusi lamanya. Sedangkan kulitnya memucat seputih-putihnya.
Empat entitas gaib menggeliat di belakangnya. Semuanya berontak dan menebarkan suara nyaring berisik. Tubuh mereka meruapkan bau busuk serta amis darah dan nanah. Keempatnya terlipat-lipat. Sosok mereka yang sudah mengerut takut menjadi sungguh-sungguh tertarik dan terseret, terhisap kembali ke tubuh Wardhani sang ratu dedemit.
"Bangsat! Kalian mencoba menyangkal siapa aku, bukan?" ujarnya pendek dengan geram. Keempat mahluk iblis yang semula mengikutinya dengan sukarela, kini harus terpenjara oleh kekuatan sihir Wardhani yang ternyata luar biasa.