Pancajiwa

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #21

Pucat

Saridewi membenci setiap sisi dirinya bahkan sampai ke ampas dan dangkal kehidupannya. Mengapa ada kata Dewi dalam namanya, yaitu Saridewi? Nama yang dimiliki ribuan perempuan di negeri ini.

Ia tak nyaman dengan kulitnya yang berwarna putih pucat yang bukannya indah, malah terlihat tak segar, tak sehat dan seperti berbau orang mati saja. Ia benci rambutnya yang berwarna kemerahan, dan itu asli dari orok. Orang jadi seenaknya menuduh bahwa ia mewarnai rambutnya tersebut. Saridewi sebal dan insecure melihat pinggangnya yang menyempit kecil namun bokongnya membulat penuh. Seperti perempuan nakal, perek, lonte, pelacur yang dengan pakaian apapun, bagian belakang tubuhnya itu selalu menonjol genit, ganjen, gatal menggoda meski niatan tak pernah terpercik sekalipun dalam pikirannya. Belum lagi kalau melihat sepasang dadanya bila sedang tak dibungkus penutup: panjang dan menggantung jatuh, bukannya bulat, kencang dan penuh.

Lalu, wajahnya? Terutama wajahnya! 

Bintik-bintik hitam yang bagi beberapa orang dianggap indah itu malah menderanya setiap saat. Kepucatan kulitnya membuat titik-titik hitam itu menyala dan wajahnya kerap kemerahan bagai ruam atau ditampar ketika matahari dengan tega memelototinya.

Dari segala jenis kebencian pada dirinya, yang paling unggul adalah kebodohannya menyukai rekan kerjanya, seorang pria bernama Anggalarang. Saridewi bahkan memuja laki-laki itu. Ia tak benar-benar paham bagaimana mendefinisikan perasaannya. Apakah cinta, atau nafsu syahwat dan berahi yang sebenarnya meraja? Kegusaran ini membuatnya terbenam semakin dalam ke lubang kebencian diri yang tak berujung.

Anggalarang, laki-laki itu padahal brengsek bukan main. Buaya kelas induknya. Semua orang tahu, dan anehnya semua perempuan masih saja mengidolakannya. 

Sialnya, itu termasuk dirinya sendiri.

Gaya berpakaian Anggalarang yang rapi, modis, namun terlihat nyaman, bukan satu-satunya modal yang membuatnya berhasil mengencani hampir semua rekan kerja perempuan di divisinya, bahkan termasuk penyelia baru yang masih lajang di usianya yang ketigapuluhempat tahun itu.

Sialnya, lagi, Saridewi tidak termasuk diantara mereka. Bokong bulat dan menonjol Saridewi yang bagi dirinya sendiri bak perempuan nakal itu tak membuat Anggalarang acuh seujung kuku pun.

Cara tersenyum dan tertawa sang pria terlihat tulus tanpa beban. Garis-garis di kedua ujung matanya yang tak terlalu lebar itu tertarik sedemikian rupa ketika Anggalarang tergelak, menciptakan atmosfir kenyamanan dan kebebasan bagi perempuan manapun yang sedang berbicara padanya.

Tubuh laki-laki itu yang ramping memiliki dua unsur maskulinitas dan feminitas sekaligus, membuatnya terkesan jantan dan di saat yang sama, anggun.

Saridewi tak merasa bersalah ketika setiap malam ia membebaskan dirinya dari segala busana yang mengkerangkengnya seharian. Tubuh polosnya yang berkulit putih pucat itu akan menegang, meregang dan menggelinjang sendiri di atas ranjangnya, memproyeksikan tubuh Anggalarang sedang berada di atasnya layaknya seekor harimau putih yang sedang melumat tubuhnya. Ia akan dikuasai berahi dan menyerahkan setiap jengkal tubuh berkeringatnya untuk seorang laki-laki yang sudah menggagahi setiap perempuan di sekelilingnya dengan bangga, dan yang tak melirik sedikitpun ke arah dirinya.

Itulah yang paling ia benci. Mengapa harus laki-laki jahanam itu? Pun mengapa ia tak malu menginginkan badan dan jiwanya diperbudak oleh pesona aneh nan misterius seorang Anggalarang?

Saridewi tak sampai berpikiran terlalu jauh untuk menjadi perempuan istimewa Anggalarang, entah itu pacar entah itu istri. Ia hanya ingin menjadi para perempuan lain di dekat pria itu, dikencaninya.

Kebencian diri, kuasa nafsu, kegamangan bahkan juga mungkin kebodohan membuat Saridewi sampai ke tempat ini. 

Lihat selengkapnya