Pancajiwa

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #23

Riak

Pak Guru Johan sudah bangun pagi-pagi sekali. Itu sudah menjadi kebiasaannya, bahkan pada hari Minggu seperti ini. Dikenal sebagai seorang suami yang baik dan bisa diandalkan, ia selalu membiarkan Ratih, istrinya, untuk bangun sedikit lebih siang pada hari libur. Pak Guru Johan membuat secangkir kopi sendiri, dan duduk di teras depan, membaca berita online dari perangkat gawai telepon pintar nya.

Paling tidak itulah yang biasa dilakukan dan menjadi kebiasaannya.

Tapi hari Minggu pagi ini, Pak Guru Johan memiliki alasan, sebab dan tujuan lain. Saridewi sudah bangun pagi-pagi pula. Pun masih mengenakan celana tiga perempat longgar dan kaos lusuh kedodorannya. Gadis itu sedang mengamati beragam tanaman di pekarangan rumah sepupunya itu. Tanpa ia sadari, ia pun sedang diamati sepasang mata terpesona seorang laki-laki yang memindai setiap lekuk tubuhnya.

"Jadi, benar kata mbak Ratih kalau kamu belum punya pacar, dek Saridewi?" tanya Pak Guru Johan tiba-tiba.

Yang ditanya tersentak. Ia memang sudah tahu bahwa sedari tadi sang suami sepupunya itu sedang minum kopi dan membaca-baca sesuatu melalui gawai nya. Mereka juga sudah saling sapa sebelumnya.

Akibat pertanyaan mendadak Pak Guru Johan, Saridewi merasa wajahnya memerah malu. Ia menyelipkan helaian rambut kemerahannya di belakang telinga, tidak menjawab.

"Mas kok tidak percaya ya. Secantik kamu tidak ada yang mau?" lanjut Pak Guru Johan.

"Saya tidak cantik kok mas. Tidak ada yang mau sama saya. Makanya saya iseng mau ke sini buat coba-coba ... coba-coba ... ke salah satu tempat keramat yang diceritakan mbak Ratih," jawab Saridewi agak tergagap. Ia terkaget-kaget sendiri karena mengapa ia begitu jujur dan polos mengakui tujuan utamanya mengunjungi Dusun Pon. Mungkin ia berpikir percuma menutup-nutupi keinginannya. Ia juga sudah jengah selalu dipuji mengenai kecantikannya yang menurutnya palsu dan sekadar basa-basi.

Pak Guru Johan terkekeh, tapi tidak bermaksud mengejek. Saridewi memandang ke arah laki-laki itu. Ia juga tak merasa dicemooh. Mungkin karena wajah Pak Guru Johan yang terlihat kalem, dewasa dan berkesan berpendidikan itu membuatnya tidak malu dan sungkan.

"Mas masih tidak percaya kalau tidak ada yang suka dengan kamu, dek Saridewi. Tapi mengenai kunjunganmu nanti ke tempat keramat itu, mas sendiri yang akan antar ke sana. Jangan khawatir dan merasa malu. Anggap saja wisata," ujarnya. Nada suaranya yang tenang dan tanpa gejolak emosi berlebihan itu mempermudah Saridewi merasa lebih tenang dan memercayainya. Saridewi sendiri tidak dapat menjelaskan mengapa ia bisa merasakan hal tersebut. Padahal baru hari kedua ia tinggal menginap, tapi ia tak lagi terlalu merasa kikuk, bahkan pada suami sepupunya.

Saridewi langsung terlihat ceria tanpa disembunyikan dan ditahan-tahan. Ia mendekat ke arah Pak Guru Johan yang duduk di kursi rotan di teras. "Mas sungguh-sungguh, bukan? Mau antar saya ke sana?" ujar Saridewi setengah berbisik. Kedua matanya membulat, membuat titik-titik hitam yang tersebar di pangkal hidungnya di atas kulit putih pucat itu tertarik, menciptakan efek tertentu yang membuat Pak Guru Johan berhenti bernafas saking terpesonanya. Wajah ayu Saridewi hanya berjarak kurang dari dua jengkal dari wajahnya.

"Iya ... Mas janji," ujar Pak Guru Johan berusaha setengah mampus menyembunyikan kegugupannya.

Saridewi tersenyum lebar. Ia tak sadar bahwa pesonanya yang sudah ada sedari awal itu hanya tertutup oleh rasa benci dirinya sendiri. Kekuatan tak kasat mata yang melayang-layang di permukaan tanah dan menyelip diantara pepohonan di Dusun Pon ini hanya membuka gembok dan merespon keinginan terdalam dan tergelap sang gadis yang terlalu lama tertidur, bukan mengubahnya menjadi cantik nan menarik, toh Saridewi memang sudah memesona.

***

Ratih membuka mata. Cahaya matahari menembus masuk ventilasi dan tirai jendela kamarnya, mematuki wajah dan kelopak matanya. 

Kepalanya terasa begitu berat dan pening. Ada semacam beban di punggungnya.

"Nampaknya kamu sedang sakit, dek," ujar Pak Guru Johan yang mendadak masuk ke kamar.

"Jam berapa sekarang, mas? Aku tidur lama sekali. Kepalaku agak pusing. Aku harus bangun, bikin makan dan beres-beres rumah," ujar Ratih agak panik.

"Jam sebelas siang. Tapi sudah, aku pikir kamu memang sedang tak enak badan. Istirahat saja dulu. Untung ada Saridewi sepupumu itu. Dia yang masak dan beres-beres dari pagi. Anak-anak sudah mandi dan makan. Tinggal kamu nanti makan siang sekalian, terus minum obat biar enakan," jelas sang suami.

Lihat selengkapnya