Anggalarang mencoba memejamkan mata. Tidak seperti hari-hari biasanya, dimana ia selalu kesulitan tidur, sudah beberapa lama harimau di dalam tubuhnya tak bertingkah, tak ingin keluar dari kandangnya.
Sepertinya ia bisa saja tidur nyenyak malam ini.
Tapi anehnya, saat-saat seperti ini, yang justru ia sangat inginkan, malah membuatnya begitu khawatir. Ketakhadiran sang Maung biasanya membawa hal lain yang sama menyebalkannya.
Sofa di dalam kamarnya menahan lelehan tubuhnya yang sudah sama sekali lelah dan malas, membeleber bagai cairan. Satu kakinya tertahan di sisi lengan sofa, satunya lagi jatuh terkulai ke lantai berkarpet indah di sisi yang berlawanan. Dua kancing kemeja teratasnya terbuka. Satu botol bir telah kosong tergeletak di meja kaca bundar di sampingnya.
Sang harimau adalah wakil dari segala kemarahan, agresifitas dan dendamnya. Kini sang Maung tak terlihat, maka hal yang Anggalarang takutkan niscaya datang menyergap.
Sepasang matanya akhirnya membuka lebar. Jiwa dan pikirannya dibawa kembali jauh ke masa lalu, sebuah wilayah di otaknya yang tak ingin ia kunjungi lagi selama-lamanya
Saat itu, seorang tokoh bernama Braja Wisesa masih berumur di awal tiga puluh tahun, namun ia sudah memegang area yang lumayan luas dalam bisnis kotornya: prostitusi, yang disamarkan rupa night club, diskotek dan bisnis perhotelan serta hiburan.
Laki-laki itu mengetuai ratusan preman yang bekerja siang malam mengamankan aset bisnisnya dari serangan kelompok lain. Mereka juga memiliki tugas memasok perempuan-perempuan muda yang akan dipekerjakan di bar, hotel, tempat karaoke, atau rumah-rumah bordil tertentu di area kekuasaannya. Segala jenis kekerasan pernah ia alami. Penjara pun cuma menjadi semacam sarananya untuk pulang kampung bukannya sebuah hukuman.
Hanya saja, ada satu hal yang menjadi ciri kuat dari seorang Braja Wisesa. Ia sekali suka dengan anak laki-laki muda . Ia mengincar laki-laki muda yang terlantar, kebingungan, miskin, gamang atau bahkan sedang bersemangat-semangatnya untuk bisa dijadikan murid - dalam hal ini adalah bawahan yang dapat menjadi salah satu pasukannya di masa depan.
Awalnya, biasanya ia menggoda, mengiming-imingi dan menjebak anak laki-laki berusia di bawah lima belas tahun untuk mengikutinya. Semakin muda anak itu semakin ia senang.
Mereka masih muda dan kuat.
Dalam suatu keadaan, tiga anak laki-laki berusia sebelas tahun berhasil dibujuk dan dibawa Braja Wisesa ke pertokoan dan minimarket. Mereka dibelikan makanan dan minuman serta baju baru. Braja Wisesa kemudian membawa mereka ke sebuah tempat rahasia, mengurung mereka, melatih dan menjadikan mereka senjata tanpa emosi.
Sebuah rumah besar, penuh dengan ruangan rahasia dan penjagaan ketat oleh penjaga dan preman bawahannya adalah tempat pelatihan mahluk-mahluk dingin yang kelak terekspos oleh kekerasan dan kekejaman beragam bentuk yang tak bisa dibayangkan.
Berbulan-bulan Braja Wisesa melakukan pelatihan penuh kekerasan kepada mereka. Ia melatih mereka habis-habisan. Ketiga anak laki-laki itu dipertontonkan dengan eksekusi korban kriminal bisnis mereka. Ini adalah bentuk pelajaran utama bagi anak-anak itu. Tidak hanya itu, entah apa aja yang sudah Braja Wisesa lakukan kepada ketiganya di balik rumah besar yang bagai benteng tersebut.
Akhirnya, pada puncaknya, ketiga anak laki-laki itu diminta untuk menjadi eksekutor atau algojo yang dengan tangan mereka diminta untuk membunuh korban secara langsung.
Bukan perkara mudah tentunya. Tak ada yang mampu melakukannya. Braja Wisesa dan antek-anteknya menghukum mereka. Alhasil, satu anak patah kaki, satu lagi terluka di dada. Puncaknya adalah ketika hukuman dan pelajaran yang dilakukan Braja Wisesa semakin meningkat, dua orang anak tewas, dan satu orang anak dengan kecerdasan dan keberaniannya berhasil melarikan diri.