Pancajiwa

Nikodemus Yudho Sulistyo
Chapter #28

Kamar Hotel

Anggalarang sudah tak ingat lagi bermimpi apa ia semalam. Rumah sakit penuh berjejal dengan para pegawai dan rekan kerjanya. Kabar mengenai sang penyelia baru, Jenar Keswari, yang dibawa ke Instalasi Gawat Darurat tadi malam, membuat kantor sibuk. Rasa prihatin dan keingintahuan datang dari para pejabat teras perusahaan, bawahan bahkan para pegawai dari divisi lain pula. Mereka berbondong-bondong datang ke rumah sakit untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan wanita karir cantik kepala tiga itu, turut prihatin, atau sekadar menyetor wajah agar tak dianggap tak memiliki hati nurani meski mereka tak benar kenal apalagi peduli pada tokoh yang baru-baru ini menjadi tersohor di seantero kantor bahkan perusahaan tersebut.

Anggalarang duduk di satu sudut, tak terlalu paham dengan perasaannya sendiri. Jenar Kaswari boleh adalah Queenie baginya, namun bagi kebanyakan karyawan lain - terutama yang tak tahu dan tak mau tahu tentang hubungan gelap mereka - Anggalarang bukanlah orang penting yang bisa duduk paling dekat dengan kamar VIP Rumah Sakit sang penyelia.

Ia tak keberatan, toh ia masih bingung harus bagaimana. Ia memang berkencan dengan perempuan itu, berbagi kehangatan atau saling meredakan awan gelap di atas kepala yang menyebabkan penat. Namun mereka bukanlah sepasang kekasih resmi. Bisa dikatakan, secara jujur, Anggalarang tak memiliki rasa khusus selain sama-sama berbagi kenikmatan semata. Sama-sama suka.

Jadi, apakah aneh atau jahat bila ia tak begitu bersedih atau penasaran dengan kondisi sang perempuan di dalam ruangan sana?

Anggalarang justru malah memperhatikan Livy Tjandrawati yang ternyata juga sedang memperhatikannya balik. 

Hati laki-laki ini bisa dikatakan membeku, membuatnya selalu berperilaku dingin. Mungkin dengan begitu, trauma masa kecilnya dapat ditekan sedemikian rupa ke dalam alam bawah sadarnya. Sialnya, kebekuan perasaannya ini kerap diterjemahkan para perempuan sebagai gaya cool seorang Anggalarang yang membuat mereka semakin gemas dan kesengsem. Kebekuan yang disalahtafsirkan ini kemudian ditambahkan dengan sebuah mekanisme pertahanan psikologis berupa flamboyanisme nya. Harimau dalam tubuh Anggalarang melindungi dirinya dari sejarah dan memori kelam di masa kanak-kanaknya agar ia tak terluka. Hasilnya, Anggalarang tumbuh menjadi pria keren yang doyan wanita.

Livy Tjandrawati baru sekali berkencan dengan Anggalarang. Tapi ia ketagihan. Anggalarang adalah lelaki pembebasnya. Seorang pahlawan sekaligus mentor bercintanya. Dibesarkan dalam sebuah keluarga penuh larangan dan pembatasan, dipaksa melihat dunia dari satu sudut pandang saja membuat Livy Tjandrawati jengah. 

Bertemu Anggalarang ibarat seorang anak kecil dibukakan pintu ke istana mainan. Maka Livy Tjandrawati pun bermain dan bersenang-senang.


***

Livy Tjandrawati melihat bayangan tubuh Anggalarang yang dipahat sempurna itu sedang berdiri membelakanginya. Sosoknya gelap tersinari sinar lampu dari luar jendela hotel.

Gadis itu meraba telepon genggamnya di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Sepasang matanya yang sudah sipit memicing semakin menyipit merespon sinar terang yang bersinar dari layar smartphone nya. Pukul tiga subuh.

"Anggalarang, sedang apa kamu disitu? Segera kembali ke sini," ujar Livy Tjandrawati menepuk permukaan kasur disampingnya.

Tak ada jawaban dari Anggalarang.

Livy Tjandrawati menyelipkan helai rambut panjang hitam super lurusnya ke belakang telinga, melihat ke arah AC dalam keremangan kamar. Mendadak udara begitu dingin, menyapu setiap inci kulit tanpa busananya yang tersimpan di balik selimut tebal.

Ia kembali memandang sosok Anggalarang.

"Ayo, kemari, Anggalarang. Masih pagi buta. Aku masih ngantuk dan kedinginan," ujarnya tak bermaksud manja, karena memang yang ia pikirkan saat ini hanyalah kehangatan tubuh panas sang harimau jantan itu.

Livy Tjandrawati merasa bahwa ia harus turun langsung dari tempat tidur untuk menarik tubuh laki-laki itu kembali. 

Tapi ia terlalu kedinginan.

Lihat selengkapnya