Anggalarang bangun di pagi hari ini dengan perasaan berbeda. Ada kekosongan di dalam rongga dadanya, namun sekaligus ada rasa kebebasan yang hakiki.
Ia meregangkan semua otot-otot tubuhnya yang terbentuk dengan liat. Dari subuh tadi sejak Livy Tjandrawati terbangun dengan histeris, ia sebenarnya tak sempat menutup mata dengan baik. Ia pun heran mengapa gadis itu tak mengingat apapun yang terjadi sebelumnya.
Aroma Livy Tjandrawati yang manis itu mengambang tipis dari permukaan kasur. Anggalarang tetap bangun, meski ada rasa lelah di pelupuk matanya. Entah mengapa, perasaan berbeda ini membuatnya sedikit bersemangat.
Aneh memang. Sungguh mengherankan.
Kehampaan di dalam dirinya jelas membuatnya bertanya-tanya, selain rasa kehilangan yang tak biasa.
Atau, benarkah itu rasa kehilangan, atau justru kelegaan yang belum terbiasa?
Sang Maung, harimau itu sudah cukup lama tak terdengar kabarnya. Suara geraman dan raungannya tak mengusiknya dalam beberapa hari ini. Tak ada protes dan larangan. Tak ada aturan, sanggahan, atau perintah.
Kemana mahluk hewani itu bersembunyi? Pikir Anggalarang.
Di sudut lengkung ruang yang berbeda, Saridewi juga terbangun di pagi itu dengan perasaan yang sama sekali baru bahkan bagi dirinya sendiri. Sebelumnya ia tak pandai bersyukur, tak paham dengan definisi nya bahkan. Namun hari ini, rasa-rasanya ia ingin mengucap kata syukur kepada ... Entah kepada siapa. Iblis mungkin. Tak peduli setan ia.
Sang ular tak terasa menjalar di dalam tubuhnya. Begitu juga dengan perempuan berkulit gelap berbulu mata lentik terpasang oleh semesta itu.
Ada kekosongan di dalam relung jiwanya saat ini, berbanding terbalik sewaktu keduanya bersemayam di sana. Ledakan gairah meledak-ledak. Kuasa membabi buta. Cinta diri merajalela.
Sudah beberapa saat ia tak merasakan kedua entitas berperilaku binal itu membuatnya membantu mereka berburu kaum pria. Apakah mereka sedang merunduk dan menahan diri memangsa jiwa, melihat keduanya baru saja terbantu keluar dari dimensi gaib dimana mereka terkurung? Bisa jadi.
Tapi toh, lihatlah dirinya di depan cermin. Siapa perempuan sempurna itu? Bahkan tanpa kehadiran dua mahluk gaib itu, ia tetap indah dan agung.
Saridewi memantau dan memindai keutuhan raganya. Setiap ruas jari tubuhnya terlukis elok. Kulit indah itu membalut lekukan tubuh tanpa celanya. Pantau lah wajah nya. Ketajaman pandangan, senyuman mematikan dan garis-garis wajah penuh pesona sekaligus marabahaya, membuatnya merasa lengkap dan genap.
Mungkin, mungkin, kedua entitas astral yang mengendap di dalam sanubarinya sesungguhnya telah membantunya menyadari jati diri dan mencongkel keluar potensi yang selama ini tersembunyi.
Apapun itu, Saridewi merasa mantap dan tak gagap. Ia tak perlu lagi meratap, malahan siap pergi melawan dunia dalam langkah berderap. Biarkan siapapun terkesiap memandangnya dengan penuh harap.
Tubuhnya mungkin sempat dinikmati Pak Guru Johan dan Dani. Bukan masalah besar membuat yang lain berbaris rapi antri demi berahi. Tapi jiwa penuh dan lengkapnya hanya dipersiapkan untuk Anggalarang seorang.
Kedua mahluk gaib di dalam tubuhnya hanya meminta tumbal, jiwa yang tersiksa untuk disiangi dan dituai. Lagipula ia juga mendapatkan untung dari kenikmatan itu juga. Namun, sesuai kesepakatan, Anggalarang akan menjadi miliknya. Jiwa dan raga laki-laki itu akan diperbudak olehnya dan olehnya sendiri.
***
Anggalarang melihat Saridewi datang ke kantin membawa sinar, menyilaukan siapapun yang melihatnya. Sepasang kaki jenjang, kerucut lurus mulus dibalut kulit putih pualam tertutup rok span serta tubuh molek itu tak mungkin tak memancing gairah.
Saridewi duduk di sebuah meja kantin kantor, jauh ke bagian dalam. Cukup memberi waktu baginya menebarkan pesona yang membuat siapun yang melihat dan memperhatikan dalam mode slow motion ternganga. Kemeja lengan panjang formalnya terlalu menempel erat membantuk lekuk tubuhnya. Setiap langkah yang dilakukan adalah siksaan batin para lelaki yang mendecak kagum tak malu.
Anggalarang tidak begitu. Ia sudah terpana dan terpesona dengan Saridewi sejak lama, jauh sebelum orang-orang memperhatikan perubahannya ini. Bahkan ketika tak ada seorangpun yang membicarakan tentang diri seorang Saridewi, Anggalarang sudah memimpikan setiap pesonanya, walau kemudian sang harimau dengan bulu putihnya membuyarkan bayangannya.
Maka sampai lah Anggalarang pada hari ini. Sang Maung yang hidup dari makanan trauma, amarah, benci dan dendam sedang tak ada di rumah. Anggalarang tak tahu kemana gerangan sosok itu dan ia tak mau tahu.