Dahulu Saridewi mengenakan kaos oblong atau pakaian lain yang oversized drngan alasan untuk menyembunyikan dan menutupi bentuk dadanya yang jatuh menjuntai bagai wewe gombel, atau bokongnya yang menyundul angkasa melawan gravitasi. Namun, kini ia lebih percaya bahwa tak ada yang salah dengan bentuk tubuhnya. Pakaian berbahan kain yang halus luruh yang menandai lekuk tubuh malah menjadi andalannya sekarang.
Sudah lebih dari satu minggu Saridewi berhenti mencari-cari dua entitas gelap dalam tubuhnya. Ia yakin mampus bahwasanya mereka telah pergi, mungkin karena telah merasa cukup makan, kenyang menelan bulat-bulat jiwa-jiwa manusia korban-korbannya.
Fokusnya kini hanya ada pada dan untuk dirinya sendiri. Sudah seumur hidup ia tak pernah benar-benar memerhatikan seberapa indah, cantik dan memesona dirinya. Tidak itu saja, cinta diri nya ini berbalas dengan perhatian Anggalarang yang melimpah ruah tanpa celah.
"Kamu tidak keberatan kalau saya ajak keluar malam ini?" tanya Anggalarang yang sudah sama sekali enggan berputar-putar merayu, menggombal dan menggoda. Maung bukan lagi pemegang kuasa di dalam tubuhnya. Ada tak ada pesona yang mungkin tidak mungkin dipengaruhi bahkan disebabkan oleh kehadiran harimau di dalam tubuhnya, Anggalarang untuk sekali ini ingin menjadi dirinya sendiri. Untungnya Saridewi tak merasa ada yang kurang dalam diri sang pujaan. Anggalarang di matanya masih berkali-kali lipat memesona, berabab dan beraroma firdaus.
"Saya malah keberatan kalau mas tidak mengajak saya pergi malam ini. Saya bakal sendirian saja di kamar, tidak memiliki tujuan pasti," balas Saridewi lugas. Sejenak tadi ia khawatir jawabannya yang langsung tanpa babibu itu terkesan banal dan nakal. Tapi kulit wajah Anggalarang yang tertarik oleh otot-ototnya membentuk senyum lebar itu mengisyaratkan bahwa ucapannya tak kurang satu apapun.
"Saridewi, mulai sekarang, bisakah kamu memanggil saya dengan Aa'?" ujar Anggalarang sembari memandang masuk ke sepasang mata Saridewi yang berkilat penuh pesona menggoda itu.
"Ah, karena mas ... Eh, Aa' orang Sunda ya?"
Anggalarang tak berhenti tersenyum lebar. "Bukan itu alasannya. Meski memang benar saya orang Sunda," Anggalarang berdehem kikuk, khawatir untuk tak mengeluarkan kata-kata yang terlalu udik, norak dan kampungan. "Sebenarnya maksud saya supaya panggilan Aa' hanya kamu yang menggunakannya."
Saridewi sontak tertunduk. Ada hawa panas menyebar di wajahnya sekaligus perasaan aneh melingkupi tubuhnya bagai orang sedang meriang. Kupu-kupu beterbangan liar di dalam perutnya, menubruki dinding-dinding dada.
Anggalarang semakin terpesona melihat rona merah menyala menutupi wajah putih pucat dengan titik-titik hitam menghiasi pangkal hidung dan tulang pipi Saridewi. Kata-kata jujur yang ia ucapkan ternyata ditanggapi dengan baik oleh sang lawan bicara. Bahkan ia tak menyangka respon sang gadis ayu semanis itu.
***
Keduanya berjalan berdampingan di trotoar yang dinaungi pepohonan rimbun. Lampu jalan bersinar kuning redup hangat menembus sela dedaunan dan cabang peponan menimpa sosok Anggalarang dan Saridewi. Hanya ada satu dua kendaraan yang melewati jalan itu sesekali dalam banyak menit.
"Kamu senang malam ini, Saridewi?" ujar Anggalarang.