PANDALANAN

Nor Laila
Chapter #1

#1

    

Banjarmasin, Kalsel. September 2002

   Tiga Jam lamanya aku duduk didalam minibus putih ini. Mataku menjelajah dari balik kaca jendela yang berdebu, tidak ada pemandangan lain selain jejeran pohon karet dan hutan belantara yang aku lihat, sudah sejak tiga jam yang lalu aku tidak melihat ada rumah barang satu buah pun.

   Badanku terhempas, bergoyang-goyang mengikuti gerakan bus yang sesekali melewati medan yang terjal. Aku menengok sedikit kearah jalan yang kami lalui, aspal rusak yang penuh lubang. Aku kembali duduk, memeriksa jam dari ponselku yang sedari tadi sepi setelah kehilangan jaringan. Pukul 17.32. sudah hampir magrib, tapi tidak ada tanda-tanda bus yang ku tumpangi akan berhenti. Mungkin aku sudah berada ditempat yang namanya ujung dunia. Tempat ini seperti tidak terjamah sama sekali.

   Mataku menjelajah lagi, kali ini menatap orang-orang yang senasib denganku, duduk berjam-jam didalam minibus tua ini. Ku hitung acak mungkin sekitar ada tujuh belas orang di minibus itu, termasuk supirnya yang sedari tadi hanya diam dengan telinga tersumpal earphone. Hanya perasaanku saja atau memang sejak tiga jam lalu tidak ada satu orangpun yang bicara. Bahkan teman satu bangku ku. Padahal kami sempat berkenalan tadi.

     Namanya Rio, dia sama sepertiku, dari Jawa barat. Sebelumnya dia begitu banyak bicara, menceritakan tentang kesedihannya karena harus meninggalkan anak istrinya bekerja di bumi Kalimantan. Aku hanya sesekali berkomentar dan berusaha menguatkan, Rio suami yang baik menurutku.

    Rio berhenti bicara saat minibus yang kami tumpangi memasuki wilayah hutan tiga jam yang lalu, tepat setelah seseorang berdiri didepan sambil mengantupkan tangan dibawah hidungnya, seperti memohon, Aku tidak mengerti maksudnya, hanya saja setelah itu semua membisu sampai sekarang.

    Sedang Rio lebih memilih memejamkan mata, walau sesekali ku lihat keningnya berkerut dalam, dan tangannya mengepal kuat.

    

TIIIIIIINNNNNNN!!!

  Aku tersentak kaget, saat suara klakson dibunyikan begitu nyaring. Lenguh keterkejutan juga terdengar dari semua penumpang, mereka mulai bergerak memperbaiki posisi duduk mereka sambil saling pandang.

     "Datu... Datu... Umpat lalu.. datu!!"

Seseorang yang duduk di kursi paling depan bergumam nyaring. Lalu bunyi klakson kembali terdengar berkali-kali. Semua terdiam, dan tiba-tiba angin dingin membelai tengkuk ku, mataku spontan menatap keluar jendela, gelap yang tidak wajar, padahal tadi matahari masih terlihat, dan cahaya merah langit masih mendominasi.

    Bus melambat, pria tadi kembali bergumam kalimat yang sama, kali ini sambil berdiri, kepalanya bergerak kesana kemari seperti mencari sesuatu didepan bus.

    "Bangsat!" Si sopir mengumpat nyaring saat bus berhenti bergerak. Suasana tiba-tiba mencekam, aku berkeringat dingin.

Ada apa ini.

Si sopir berdiri, menatap pria di sampingnya dengan tatapan khawatir.

Lalu pria berbaju putih tulang itu berjalan kebelakang, menghadap kepada kami semua yang sedang ditimpa keterkejutan sekaligus kebingungan.

    "Ada yang membawa makanan?" Katanya dengan raut tegang.

   Semua diam saling pandang. Aku menatap Rio, pria itu gemetar, tangannya bergetar memeluk tas kecilnya.

Lihat selengkapnya