Rumah itu memiliki tiga bilik kamar, semua kamar berukuran 4x3. Cukup besar. Tempat tidur berukuran king dan satu kamar mandi di setiap kamar. Sangat mewah untuk sekelas rumah kontrakan.
Aku merebahkan diri, memandang langit-langit sambil termenung. Teman sekamarku, Ardi sudah terdengar mengorok sejak tadi. Dia terlihat biasa saja, berbeda denganku, sesaat setelah memasuki rumah ini, perasaan ku senantiasa tidak enak.
Saat pertama melangkahkan kaki memasuki rumah ini, seseorang berpeci abu-abu sudah menunggu kedatangan kami. Pria kurus berkumis tebal yang ku tebak pasti si empunya rumah. Ditangannya ada nampan berisi tiga buah gelas. Dua gelas berisi air berwarna hitam, satu gelas berisi air putih. Aku mengerutkan dahi dalam. Kalau dia menyiapkan minuman itu untuk kami, kenapa hanya tiga? Bukankah kami berlima?
Pertanyaan ku terjawab semenit kemudian, Pria paruh baya itu bernama Pak Kasiman. Dia memang pemilik rumah dengan sewa 2 juta perbulan ini. Dan perihal nampan berisi tiga buah gelas itu, memang ternyata bukan untuk kami, karena dia menaruhnya disebuah meja bundar dipojok ruangan. Sedangkan minuman untuk kami datang sesaat kemudian dibawa oleh remaja perempuan, anak dari Pak Kasiman.
Kami duduk membentuk lingkaran. Pak Kasiman memberi mandat untuk sama-sama memelihara rumah ini, aku sedikit bingung dengan bahasa Indonesia yang dia pakai, karena masih tercampur dengan bahasa daerah.
Tapi ada beberapa poin yang berhasil ku tangkap.
Intinya, kami dilarang berisik apalagi menyetel musik keras, dilarang mandi diatas jam dua belas malam, dilarang berkata kasar. Dan larangan-larangan lainnya.
Aku bingung hingga tidak bisa memejamkan mata, tidak mengerti mengapa begitu banyak larangan dan peraturan dirumah ini. Pak Kasiman tidak menjelaskan alasannya, dia hanya tersenyum sambil berkata 'takut mengganggu tetangga'
Bagaimana mungkin, toh rumah ini jauh dari rumah warga yang lain.
Aku tenggelam dalam keheningan, selain karena suara ngorok dari Ardi yang sudah berhenti, juga karena sunyi yang berlebihan malam itu. Tidak ada suara apapun yang terdengar. Bahkan suara jangkrik dan binatang malam lainnya juga tidak terdengar sama sekali. Aku mempertajam indra pendengaran ku. Rasanya seperti tuli karena tidak bisa mendengar apapun seperti ini.
Aku menegakkan tubuhku, melihat jam. Pukul 12 tepat. Sekuat tenaga aku menahan kepalaku agar tidak menengok kearah jendela kaca besar disamping kiri ku. Seperti ada dorongan yang membuat kepalaku ingin menoleh kesana walah hatiku berkata jangan menoleh.
Tanganku terkepal kuat, dan keringat dingin memenuhi dahi ku.
AAAAAKKKKKKK
Terdengar Suara teriakan memekakkan telinga dari arah jendela itu. Aku seketika menoleh. Dari balik jendela kaca bergorden putih itu, samar kulihat cahaya mengapumg diudara. Sumber dari pekakan itu. Aku gemetar, cahaya berbuntut itu seperti memperhatikanku, melayang-layang naik turun. Aku ingin berteriak atau apapun itu sejenisnya, tapi mulutku terkantup rapat. Hingga tanpa kusadari tubuhku terjungkal kebawah tempat tidur.
BUK!!
Pantat ku mendarat keras diatas ubin dingin itu, aku meringis kecil. Lalu kembali menatap kearah kaca jendela itu. Gelap. Cahaya itu menghilang. Lalu pekakan nyaring kembali terdengar, kali ini sangat jauh. Aku segera melompat naik keatas tempat tidur, mengubur diriku didalam selimut, sekuat tenaga memejamkan mata, berharap detik berikutnya fajar segera menyingsing. Dan segala keanehan yang kulihat bisa aku lupakan.
*****
Aku terbangun saat suara sirine terdengar nyaring memecah keheningan pagi. Aku duduk dan menatap kekacauan di sprei tempat bekas Ardi tidur, sedangkan orangnya tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Aku bangkit, berjalan pelan keluar kamar, semua orang berdiri di teras sepertinya mereka memperhatikan sumber dari bunyi sirine itu.
"Ada apa?" Aku berdiri di belakang Ardi, mengucek mataku beberapa kali, sinar matahari membuat mataku agak kabur.
"Seseorang dari kelompok tiga meninggal dunia." Jawab Ardi berbisik.
"Mas Ridwan ingat nggak, teman satu bangku mas waktu di bus" Imbuhnya, masih berbisik.