Hari kedua ku di desa Sasaurang, masih sama saja, aku belum bekerja. Perwakilan perusahaan juga belum datang. Letak pasti perusahaan juga aku belum tau, katanya tidak jauh dari pemukiman penduduk, tapi saat kutanyakan kepastiannya pada Pak Kasiman, lagi-lagi dia seperti menghindar. Katanya lebih baik menunggu perwakilan saja.
Mungkin hanya aku disini yang terlalu banyak bertanya, karena empat temanku yang lain, Salman, Faiz, Ardi ataupun Ali terlihat biasa saja, mereka lebih sibuk dengan urusan masing-masing. Menonton film atau main kartu bersama. Berbeda denganku, aku penasaran dengan desa ini.
"Mas Salman, kalau mau nyari sinyal disini dimana ya?" Tanyaku sambil memperhatikan ponselku yang sejak kemarin tidak berfungsi.
"Sayang sekali Wan, disini nggak ada sinyal kalau nggak ke kota dulu." Katanya sambil fokus pada kartu-kartu ditangannya.
"Tapi kalau mau nelpon, bisa numpang di warung di sana, disitu ada telpon rumah." Sambungnya.
"Temenin aku yuk mas." Kataku seketika berdiri. "Aku belum sempet ngabarin ibu kalau udah Sampai." Lanjut ku bersemangat.
Faiz terkikik sambil menggumam tidak jelas. Sedangkan Salman menatap Ali.
"Temani Ridwan Ali, mungkin dia takut di ganggu setan siang-siang." Ejek Salman.
Aku hanya diam melipat bibir bawahku.
Ali bangkit. "Hayuk bang, kalau setannya muncul, kasih aja ke Ali, kalau cantik Ali ajak ena-ena." Katanya seraya tertawa.
Yang lain juga ikut tertawa, tapi Faiz yang paling gelak.
Aku tidak menggubris, hanya diam sambil berjalan keluar dari teras.
Aku dan Ali berjalan melalui jalan berbatu itu sambil mata kami menjelajah setiap sisi kampung itu. Masih saja sepi walau ini sudah hampir tengah hari.
"Kira-kira orang-orang kemana ya Li?" Tanyaku, sifat ingin tau ku menjadi-jadi.
"Sebagian besar di kebun karet bang, nyadap." Kada Ali santai. Ali memang lebih banyak tau karena dia sudah satu tahun bekerja di Kalimantan barat, hanya saja sekarang dia berbelok sedikit ke Kalimantan Selatan.
"Ibu-ibu nya?"
"Dirumah lah, masak."
"Anak-anaknya?"
"Kalau anak laki-laki, ikut ke kebun, kalau anak perempuan dirumah, masak." Jawab Ali sekenanya.
"Tidak sekolah."
"Bah! Bercanda kali kau bang, ini tu dusun, sekolah jauh bang, lagipula mahal, anak Kalimantan nggak akan mau sekolah bang, mereka kerjanya di hutan." Ali mengeluarkan bahasa khas Batak-nya.
"Di kalimantan itu bang, pendidikan tidak penting, mereka hidup menyatu dengan alam, Kalimantan kaya bang, semua dihasilkan dari alam, gratis pula." Jelas Ali, aku hanya manggut-manggut, walau teori Ali tidak dapat diterima logika ku.
Tidak lama kami sampai disebuah warung kopi kecil sepi. Seorang ibu berdaster sibuk membersihkan beras didalam sebuah nyiru, sedangkan mulutnya tersumpal rokok. Wanita merokok, kukira hanya ada di klub atau diskotik, ternyata di pedalaman seperti ini juga ada.
"Pendatang kah?" Tanya ibu itu dengan suara nyaring.
Aku dan Ali saling pandang. Lalu mengangguk berbarengan.
"Perusahaan BAS?" Tanyanya lagi.
Lagi-lagi kami mengangguk.