Pandemonium

Bramantio
Chapter #1

Pandemonium

Ia tidak pernah menyangka pada akhir hari itu dirinya serupa Musa yang mematung tanpa daya menyaksikan sebuah kota niscaya meranggas perlahan dalam ketidaktahuan.

Jalanan terlalu sepi daripada biasanya dan ia sangat tahu alasannya karena sejak berminggu-minggu sebelumnya kasak-kusuk datangnya kiamat kubra didengarnya dari orang-orang di sekitar setiap ia meninggalkan paviliunnya. Satu-dua kali ia tergelak sendiri memikirkan ironi betapa tanggal cantik itu menjadi yang paling tidak diminati dalam sejarah penanggalan Gregorian oleh siapa pun yang berniat menggelar resepsi pernikahan besar-besaran padahal apa pun yang berlabel akhir zaman tentu sangat mengesankan meskipun si mempelai mungkin tidak akan pernah bisa melihat foto-foto sukacita mereka yang baru selesai dicuci-cetak tiga hari kemudian dan tetap disertai kemungkinan ada yang terbakar akibat keliru mengambil sudut pemotretan sehingga banjir cahaya. Ia tiba di titik favoritnya sebelas menit lebih awal daripada hari-hari sebelumnya meskipun ia sempat singgah membeli bensin eceran dan mengisi ban depan dan belakang di tukang langganan yang senantiasa menawarinya segelas belimbing kopi tubruk panas lengkap dengan lepek putih untuk menyeruputnya yang adakalanya disertai pisang goreng, bakwan jagung, atau tahu isi. Di puncak lengkung landai busur viaduk ia menepikan Vespanya serapat mungkin dengan trotoar bertegel kelabu gurat-gurat diagonal yang di sana-sini rompal tergerus zaman dan celah-celahnya ditumbuhi rumput liar dan bayam lalu berdiri tepekur bertelekan pagar besi legendaris demi menyaksikan keberangkatan kereta api pagi ke selatan menuju kota para raja pemangku Bumi. Sejak kali pertama menemukan kesenangan sepele itu ia tidak pernah bisa menghapus imaji kekanakan tentang kereta api itu yang setiap satu dari seratus perjalanannya tidak sedikit pun berbelok dan hanya lurus dan lurus dan lurus menembus samudera sampai ke satu-satunya stasiun di Kutub Selatan tempat kawanan penguin berkerumum penuh sukacita mengelilingi Sinterklas yang berbagi cerita dan di stasiun kereta itu pula ia baru benar-benar memahami pernyataan kontradiktif dari sebuah lagu yang aku tunggu masih kucari ketika suatu kali pernah menunggu kerabatnya dari luar kota yang keretanya terlambat datang sehingga ia pun sempat celingukan karena tidak ingin melewatkannya meskipun sejak awal telah bersepakat bertemu di depan pintu loket pemesanan kereta eksekutif. Sesekali ia mengedar pandangan ke sekelilingnya sambil mau tidak mau membaui jejak pertarungan udara perawan dengan asap knalpot kendaraan yang sejangkauan tangan di depannya dan matanya senantiasa terpesona oleh tiga pohon tinggi besar berdaun rimbun berkayu gelap yang tidak pernah diketahuinya apakah pohon asam ataukah trembesi dan ia tidak pernah merasa perlu bertanya kepada siapa pun karena baginya lebih menyenangkan menganggapnya ditanam dari benih purba yang ribuan tahun lalu dibawa oleh pengelana asing dari jantung Dark Forest jauh sebelum kelahiran Snow White. Bambu-bambu panjang yang telah dipanen bersandar pada ketiganya milik penduduk yang tinggal di rumah-rumah beratap rendah dan legam oleh lumut yang baginya seperti orang-orang dari pedalaman manuskrip Grimm Bersaudara yang berselimut halimun abadi, tidak mengenal kekinian, dan memerangkap sepetak waktu dari semesta yang senantiasa teduh dan hanya mengenal kayu bakar dan lampu minyak. Ia lantas menyadari Surabaya tidak pernah seteduh pagi itu dan membuatnya seolah mengunjungi semesta pastoral monokromatik di bidang datar lukisan-lukisan agung di dalam museum yang senantiasa suwung bahkan pada hari-hari teramainya. Ia tidak menyangka bisa memperoleh pagi yang melampaui pagi-pagi yang disebutnya pagi telur ceplok karena terasa datar sekaligus kaya makna potensial sebagai analogi atas wujudnya yang kuning-putih sederhana yang mampu menarik perhatiannya setiap tersaji di meja makan meskipun dikelilingi sajian-sajian lain yang lebih boros warna dan mengesankan lebih mahal, mampu menguarkan aroma gurih hangat yang tidak berlebihan meskipun hanya dibumbui sejumput garam, dan memiliki daya adaptasi luar biasa karena mampu menyatu dengan banyak makanan dengan tetap mempertahankan jatidirinya sekaligus tanpa merusak bahkan membunuh citarasa makanan lain dan justru memperkaya mereka.Ada keheningan nyaris ilahiah yang justru mau tidak mau membuatnya memintal firasat.

Ia menyalakan Vespa lalu menuju Kayoon.

Lihat selengkapnya