PANDORA 1998

Putu Winda K.D
Chapter #4

PERTEMUAN PERTAMA

Raden Harya Angga Bramastha, begitulah nama besar dari pemilik mansion mewah tersebut. Jika masih ingat, laki-laki ini juga yang sempat duduk dengan santai di ruang pertemuan tertutup milik Hotel Nuwa dengan penampilannya yang santai dan klasik. Mereka adalah orang yang sama. Di masyarakat ia dikenal dengan nama Raden Harya, sedikit berbeda dengan orang-orang yang bekerja di rumahnya, sebab mereka lebih sering memanggilnya dengan sebutan Tuan Angga. Namun, akan berbeda lagi dengan julukan yang diberikan oleh istrinya, Ratna. 

Angga merupakan keturunan dari seorang priyayi tersohor di seantero ibu kota. Ayahnya merupakan mantan komandan pasukan elit negara, sedangkan ibunya terkenal dengan bisnis garmentnya dan penciptaan model-model pakaian bermerek yang terkenal hingga ke mancanegara. Di samping ketenaran nama kedua orang tuanya, mereka juga berasal dari silsilah keluarga ningrat pribumi sejak zaman dahulu. Angga memiliki seorang kakak laki-laki bernama Dimas, Raden Soegeng Dimas Bramastha namanya. Dan Dimas yang merupakan putra sulung di keluarga itu pun lantas dilimpahkan sebuah kuasa untuk melanjutkan bisnis ayahnya sebagai pemegang perusahaan properti yang sah secara hukum, sedangkan Angga yang kini sudah menikah lebih dulu hanya diberikan sebagian kecil saham untuk mengelola anak perusahaan yang menjadi bagian dari bisnis properti tersebut, di samping ia pun kini telah disibukkan dengan urusan pengelolaan Hotel Nuwa milik peninggalan keluarga istrinya ini.

Sebenarnya hubungan antara Ratna dan Angga tidak begitu baik untuk ukuran orang yang sudah berumah tangga. Walau kini usia pernikahan mereka sudah terbilang cukup lama, hampir menginjak enam tahun, namun chemistry yang terbangun di antara keduanya sama sekali tak berwujud. Entah mungkin karena pernikahan yang berlangsung secara mendadak, atau keduanya yang memang memilih untuk tetap bersikap seperti orang asing, tak ada yang tahu. Yang jelas, tiap kali Ratna dan Angga bertemu di rumah, suasana yang tercipta pasti akan berubah menjadi suram. Seperti sebuah reaksi gesekan antara gas dengan udara, begitu pula yang terjadi pada kedua orang ini. Sedikit saja salah satu menyahuti pembicaraan yang lain, maka pertengkaran pun tak akan bisa dihindari lagi biar bagaimanapun caranya orang-orang menyiramkan air untuk memadamkannya. Persis seperti yang terjadi di hari itu.

Setelah Ratna menyelesaikan urusannya di Banyuwangi, berziarah dan mengunjungi rumah paman dan bibinya, ia pun lantas memutuskan untuk kembali ke ibu kota – seperti yang telah ia janjikan sebelumnya bahwa dirinya hanya akan pergi selama dua hari saja dan akan kembali sebelum petang. Penyambutan hangat seperti halnya tempo hari juga Ratna dapatkan ketika ia tiba di mansion itu, tak terkecuali oleh sang kepala pelayan, wanita yang kemarin pun menyapa ramah Angga. Dengan terburu-buru, wanita yang usianya senada dengan Ratna itu pun lantas bergegas menghampiri nyonya-nya ini dengan tergesa-gesa.

“Nyonya..,” si pelayan wanita menyapa Ratna dengan wajah gugupnya.

“Ada apa, Dyah?” Ratna balas bertanya.

“Tuan Angga ada di ruang makan,” jawab Dyah, si pelayan wanita, dengan sedikit berbisik.

Lihat selengkapnya