Salah satu kursi berderit pelan. Ratna telah memposisikan dirinya di penghujung meja, berhadapan persis dengan tempat duduk suaminya yang juga berada di paling ujung. Rangkaian lilin putih yang menyala tenang turut dipajang di sana, seolah ingin mempercantik suasana di atas meja makan itu. Klasik. Apakah tak bisa diganti saja dengan tungku bara api? Nyala api yang dihasilkan oleh lilin-lilin kerdil itu bahkan tak cukup kuat untuk membakar satu lalat pun, lalu apa gunanya dipajang di sana? Bukankah mereka memang difungsikan untuk menghalau serangga?
“Lama tak bertemu, kau terlihat semakin kurus. Aku dengar kau memang jarang makan? Tampaknya rumor itu benar,” Angga memulai percakapan mereka setelah sekian lama membisu.
“Bukankah tidak sopan jika kau langsung melemparkan pertanyaan mencela seperti itu? Bagaimana jika aku tersinggung?” Ratna menyahut ketus.
Seolah tak peduli, Angga lantas melanjutkan ucapannya, “Kata Dyah insomniamu masih sering kambuh, jadi kali ini aku meminta khusus kepada para pelayan di dapur untuk meracikkanmu teh chamomile,” ujarnya sambil memberikan isyarat sorotan mata kepada Ratna tentang keberadaan secangkir teh di depannya.
Ratna tanpa sadar lantas mengikuti arah lirikan kedua mata lancip pria itu, tepat ke arah sebuah cangkir porselen putih yang berisikan seduhan teh chamomile di dalamnya. Namun sayang, kelihatannya minuman manis itu telah kehilangan sesuatunya yang paling berharga untuk bisa memenuhi kriteria sebagai racikan teh sejati.
“Terima kasih atas kebaikan hatimu, tapi aku rasa aku tidak bisa meminumnya,” ucap Ratna kemudian, yang lantas membuat Angga spontan menaikkan sebelah alisnya. “Teh ini sudah dingin,” imbuh Ratna.
“Kau yang membuatnya mendingin, lalu sekarang kau juga yang membuangnya? Maksudku, kau berdandan untuk menjadi seeksentrik ini selama berjam-jam, bahkan sangat telat dari waktu yang ditentukan. Jadi, jangan salahkan jika tehnya mendingin,” ujaran Angga jelas terdengar seperti sebuah sindiran halus di telinga Ratna. Entah laki-laki itu sedang menyindir penampilannya atau menyindir hal yang lain, atau bahkan keduanya? Entahlah.
“Kita sama-sama tahu bahwa bulan ini belum saatnya kau pulang ‘kan? Lalu sekarang kenapa tiba-tiba? Boleh aku tahu alasannya?” Ratna berdalih.
“Bagaimana jika kukatakan bahwa aku pulang karena merindukan rumah dan istriku?”
“Jangan konyol!”
Melihat wajah jutek dan ucapan ketus yang terus-menerus dikeluarkan Ratna padanya sejak tadi, membuat Angga jadi gemas sendiri. Perkelahian adu mulut seperti ini memang sering terjadi di antara mereka, dan ia benar-benar menyukainya. Ia suka ketika Ratna mulai terpancing oleh semua ucapannya dan menjadi emosi, sebab ketika mulai marah, gadis itu mampu merubah suasana rumah yang sebelumnya monoton jadi sedikit berwarna. Walau mungkin warna yang dihasilkan kebanyakan berupa spektrum warna api yang menyala terang, seterang warna baju yang ia kenakan saat itu.
“Hahaha..jangan salah paham, aku hanya bercanda,” Angga tertawa kecil.
Menurut sifat dan perangainya, Ratna tahu betul bahwa laki-laki itu tak benar-benar tulus ketika melakukan apapun terhadapnya, bahkan ketika tertawa sekalipun.
“Makanlah! Kita akan bicarakan hal lain di ruang kerjaku,” imbuhnya sembari meneguk anggur merah yang tersisa di gelasnya.