Pada masa itu, status sosial di masyarakat masih berlaku sangat kental. Perekonomian dan derajat sosial sebuah keluarga ditentukan oleh ketenaran nama keluarga itu sendiri di masyarakat, dan keluarga yang diturunkan dari tetua seorang priyayi pasti akan menjadi salah satu keluarga konglomerat terpandang di kota itu. Dahulu jumlah mereka ada banyak sekali, namun seiring berjalannya waktu satu persatu dari keluarga itu runtuh akibat ketidakmampuan keturunan baru mereka untuk melanjutkan bisnis dan perusahaan yang diwariskan. Pada akhirnya menyisakan hanya beberapa keluarga konglomerat saja yang mampu bertahan hingga saat ini.
Keluarga Soejodjo, Keluarga Hardiyanta, lalu Keluarga Soeningrat, Darmaji, Atmojo, Kusumawardana, Rahardja, dan termasuk juga di dalamnya Keluarga Barayantjo. Mereka berdelapan inilah yang disebut-sebut sebagai ‘keluarga kehormatan’ oleh masyarakat dan warga priyayi lainnya. Kedelapan keluarga ini saling berkaitan erat satu sama lain, namun berporos pada satu pusat inang sebagai tempat mereka memperpanjang rambatannya. Hotel Nuwa.
Sejak dahulu hingga sekarang, Hotel Nuwa telah menjadi bangunan primadona bagi tempat berkumpulnya para petinggi dan pengusaha ternama dari berbagai kota hingga penjuru dunia. Setiap tahun akan diadakan dua perjamuan besar di sana, pertama merupakan perjamuan untuk merayakan hari jadi hotel, dan yang kedua merupakan perjamuan sosial antar kalangan kelas elit. Di sinilah para petinggi, pengusaha, kalangan priyayi kelas atas hingga kedelapan keluarga kehormatan itu bergabung dan bertemu tatap satu sama lain. Tak jarang pula mereka yang hadir kerap kali memamerkan kekuatan serta kekayaan masing-masing, pun dengan kedok menjalin kerja sama baru atau malah guna memantau saingan bisnisnya masing-masing.
Namun, tentu tak semua orang bisa masuk dan bergabung begitu saja di dalam perjamuan elit tersebut. Hanya orang-orang terpilih yang mendapatkan undangan sebagai tamu naratetama sajalah yang bisa hadir di sana. Dan sistem pembagian undangan itu tentu tak luput pula dari perhitungan dan pertimbangan dari sang pemilik hotel, yang seyogyanya adalah Ratna. Namun dalam hal ini diwakilkan oleh Angga sebagai posisi ‘sang pemilik kedua’. Oleh sebab itulah, tak menyalahkan apabila orang-orang ini malah menjadikan Hotel Nuwa sebagai inang untuk tempat mereka berkembang biak dengan subur.
* * *
Pagi hari yang cerah. Secerah apa? Mari kudeskripsikan. Jejak embun pagi masih tersisa di pori-pori dedaunan hijau pada sela-sela rerumputan yang subur. Burung berkicau dengan suara merdunya yang klasik. Tanah yang dipijaki akan terasa lembab dan mengeluarkan aroma menyegarkan setelah diguyur hujan semalaman. Lalu di atas langit, ada beberapa gumpalan awan di sana, membentuk berbagai macam bentuk dengan ukuran yang berbeda-beda. Matahari bersinar malu-malu dari balik salah satu awan lainnya, dan pendarnya menyebar menghangatkan segala sesuatu yang disentuhnya di tanah. Singkatnya, suasana pagi yang menawan itu hanya bisa dirasakan ketika Ratna menyempatkan dirinya bersantai minum teh di dalam rumah kaca. Namun sayang, hari ini harus terlewati karena ia punya urusan lain di luar mansion.
Seperti yang telah dikatakan Angga tempo hari, bahwa pagi ini Ratna harus ikut bersamanya ke hotel. Entah setan baik apa yang sedang merasuki tubuh laki-laki ini, hingga untuk pertama kalinya ia melibatkan Ratna dalam urusan hotel. Ya, ini adalah yang pertama kalinya.
Hotel Nuwa merupakan bangunan megah yang terbangun kokoh persis di pinggiran pusat alun-alun kota, memiliki lebih dari 60 lantai yang menjulang tinggi ke atas dan berisikan sekitar 825 kamar, termasuk 200 kamar suite. Ada banyak sekali fasilitas yang ditawarkan, dan yang paling banyak diminati adalah sebuah atrium interior yang dibangun berventilasi alami setinggi kurang lebih 225 meter, di samping fasilitas lain yang juga tak kalah jumlah peminatnya.
Ratna dan Angga tiba di hotel itu melalui lobi utama, yang lantas segera mendapatkan sambutan hangat dari seorang pria paruh baya berpakaian rapi yang sempat ditemui Angga tepat sebelum kepulangannya ke mansion. Masih ingat dengan si pria berdasi? Ya, kali ini masih dengan orang yang sama.
“Selamat datang, Nyonya Ratna dan Tuan Bramastha,” – ia adalah sang manager hotel, Tuan Adisaka Baraq, berusia kurang lebih sekitar 40 tahunan.
“Lama tak bertemu, Paman,” Ratna membalas ramah.