“Kapan kau akan memberikan keturunan untuk keluarga ini?” Sang kakek tiba-tiba menyeletuk di tengah khusyuknya makan malam mereka kala itu.
Beberapa anggota keluarga seketika menjeda kunyahannya pada makanan masing-masing sembari saling melempar tatap satu sama lain, namun beberapa di antaranya masih tetap fokus menikmati makan malam seolah mencoba acuh pada celetukkan pertanyaan itu. Walau salah satu atau salah duanya ada yang merasa tersindir, namun semasih sang kakek belum menyebutkan nama maka posisi mereka masih terbilang aman.
“Kau adalah cucu tertua di keluarga ini, dan lagi pernikahanmu dengan gadis penyakitan itu sudah berjalan cukup lama ‘kan? Apa dia punya penyakit lain yang membuatnya tidak mampu mengandung?” Lagi-lagi sang kakek melempar tanya, dan kali ini targetnya jelas. Ia menyebut cucu pertama, yang menandakan bahwa pria tua berambut ubanan ini sedang menyindir Raden Bagas – cucu yang pertama dari putra keduanya.
Akhirnya anggota yang lain masih bisa menikmati makan malam mereka dengan tenang, sembari menonton adegan tanya-jawab antara kakek dan cucu pertamanya ini. Benar-benar perkumpulan manusia laknat.
“Tolong Kakek jangan menghina istriku seperti itu!” Jawab Raden Bagas kemudian.
“Oh, apakah itu terlalu kasar? Kurasa penyebutan ‘gadis penyakitan’ terdengar lebih halus daripada kusebut dia sebagai ‘wanita mandul’?” Kata-kata sang kakek sungguh menggeliat tajam ketika ditangkap masuk oleh tiap pasang telinga yang mendengar.
“Kakek!” Raden Bagas menyentak.
“Bagas, jangan berperilaku tidak sopan!” Ibunya lantas angkat bicara.
“Kuberi waktu setahun lagi, jika masih tak bisa juga maka segera cari penggantinya!” Titah tegas sang kakek.
“Kakek menyuruhku menceraikan Wulan? Kakek, ini adalah kehidupan rumah tanggaku, haruskah Kakek ikut campur di dalamnya!?” Bagas mencak-mencak. Laki-laki malang ini bahkan hampir saja berdiri dan hendak meninggalkan meja makan, kalau saja ayahnya tak mencegahnya.
Ah, beruntung wanita bernama Wulan itu tak turut hadir di sini, karena tak ada yang bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika sampai ucapan pedas sang kakek tentang dirinya terdengar oleh wanita malang itu. Menurut penuturan Bagas, istrinya itu sedang sakit dan berhalangan hadir di perjamuan keluarga malam ini. Alasannya pun sama persis seperti bulan-bulan sebelumnya, terhalang oleh kambuhnya penyakit asma yang dideritanya.
“Diamlah, Bagas! Jangan menentang dan turuti saja perintah kakekmu!” Ujar sang ayah kemudian.
Bagas terdiam, benar-benar terdiam seperti titah ayahnya. Agaknya pula laki-laki itu terlampau malas memperpanjang perdebatan dengan sang kakek dan kedua orang tuanya ini. Makan malam kembali berlangsung damai, dan diamnya Bagas pun sekaligus menandakan bahwa adegan pertama telah usai. Maka setelahnya, anggota yang lain harus siap-siap pasang telinga menerima ceramah dan kritik pedas dari sang tetua Keluarga Bramastha ini yang entah kapan akan terlontarkan kembali. Tak ada yang tahu siapa target selanjutnya, dan apakah ia akan memberikan sindiran atau malah pujian?
“Hubunganmu dengan putra dari Keluarga Darmaji itu berjalan lancar?” – Target selanjutnya sudah ditetapkan, yakni seorang gadis belia seumuran Ratna yang duduk persis di sebelah Angga. Ia adalah Sarah, cucu perempuan kelima di keluarga ini.
“Ya, Kakek, semuanya baik-baik saja,” jawab Sarah singkat.
“Lalu bagaimana dengan bisnismu?” Tanya sang kakek lagi.
“Operasionalnya berjalan lancar. Aku masih berusaha memperluas target pasar di ibu kota, Kakek,” jawab Sarah.
“Baiklah. Jika kau butuh suntikan dana atau bantuan lainnya, katakan saja pada kakek!” Ucap sang kakek.