PANDORA 1998

Putu Winda K.D
Chapter #13

MATA PANCING BERKAIL UDANG

“Kau paham maksudku ‘kan? Jika kau masih lupa, biar kuingatkan lagi. Di tahun 1998, ketika kau masih berumur 20 tahun, ingat apa yang terjadi pada keluargamu, terutama ayahmu? Atau lebih spesifiknya adalah perusahaan ayahmu. Masa itu adalah masa yang kelam bagi sebagian besar rakyat pribumi, sebab krisis moneter yang melanda Indonesia membuat banyak kemunduran di berbagai sektor. Kau tahu rumor tentang kejahatan yang telah dilakukan oleh kaumnya pada saat itu apa?” Tuan Banyumala lantas beralih melempar pandangannya pada Ratna.

Apa lagi ini? Apa maksud dari tatapan sinis nan tajam itu? Batin Ratna.

Namun ada satu hal yang membuat heran, tentang perangai Ratna yang tak seperti biasanya. Saat itu walau dirinya merasa telah sangat dipojokkan oleh kakek mertuanya ini, dengan santainya Ratna masih asyik berkutat dengan udang goreng beserta antek-anteknya di piring makannya. Ia seolah enggan mendengar apapun yang diucapkan oleh Tuan Banyumala, walau jelas telinganya sudah mulai terasa panas menerima berbagai macam bentuk sindiran itu. 

"Jika saja hotel itu tak berdiri, maka kau tak perlu repot-repot untuk membantunya tetap kokoh di sana. Tanah tempat bangunan itu berada adalah milik pribumi, dan tak seharusnya mereka menyabotase perusahaan lain hanya demi keuntungan mereka sendiri. Bukankah begitu?" Tuan Banyumala akhirnya memberi jeda setelah meluncurkan berbagai macam bentuk sindiran pedasnya pada kedua pasang suami istri ini. 

Keheningan yang menegangkan itu pun tiba-tiba lantas dengan cepat disela kembali oleh suara seorang wanita yang meminta ditambahkan udang ke dalam piring makannya. Bisa tebak siapa? Ya, wanita itu tak lain adalah Ratna. 

"Boleh minta tambah udang semur tiramnya?" Ujarnya dengan wajah yang sengaja dipolos-poloskan.

Spontan, seluruh pasang mata yang ada di ruangan itu pun lantas melirik ke arah Ratna dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. Kini gadis itu telah resmi menjadi pusat perhatian, hanya karena meminta tambahan udang semur tiram di tengah-tengah perbincangan hangat mereka. Dan Ratna yang merasa diri jadi pusat perhatian pun tentu saja langsung bisa memahami sebabnya, karena ia dianggap lancang? Atau tak tahu sopan santun?

"Boleh tolong ambilkan?" Ratna kembali berucap, meminta agar gadis remaja yang kebetulan duduk di sebelahnya ini mengambilkan piring udang yang letaknya lumayan jauh dari jangkauannya.

"Ratna!" Nyonya Ningrum, ibu mertuanya pun sampai dibuat Ratna meluncurkan tegurannya. 

"Apakah udangnya enak, Nona Poegi?" Kali ini Nyonya Roro yang angkat bicara, sang nenek, tetua paling penting kedua setelah Tuan Banyumala, yang sekaligus berstatus sebagai istri Tuan Banyumala ini kemudian.

Lihat selengkapnya