Pada akhirnya, perjamuan malam itu berakhir dengan damai seperti yang diharapkan banyak orang. Dan seperti biasanya, setelah makan malam mereka akan menghabiskan beberapa jeda waktu yang tersisa untuk saling bercengkrama satu sama lain, atau mungkin ada pesta minum teh sebagai pencuci mulut seperti yang berlangsung malam ini. Di ruang tengah, para wanita akan berkumpul sambil mulai memamerkan keluarganya masing-masing, dan mau tak mau Ratna pun harus ikut mendengarkan semua ocehan itu di sana. Sementara di bagian taman akan menjadi tempat para lelaki berkumpul, ada yang menyedut cerutu dan ada juga yang hanya membawa segelas sampanye. Misalnya Angga, walau ia bukanlah seorang perokok, namun sekali waktu laki-laki ini juga bisa menghisap benda berbahan tembakau itu. Dan malam ini pun ia mempraktekkannya sendiri, menarik ulur asap dari sebuah cerutu yang baru saja diberikan oleh kakak sepupunya itu.
Ratna sesekali melirik ke arah taman luar yang hanya disekat oleh pintu kaca dari dalam ruang tengah, fokus pandangnya adalah Angga. Laki-laki itu tampak asyik berbincang dengan saudara-saudaranya yang lain. Namun tanpa Ratna sadari, sejak tadi pun Angga melakukan hal yang sama dengannya, mencuri-curi pandang sesekali melirik Ratna ke arah ruang tamu. Sepertinya mereka butuh waktu untuk bicara empat mata, mengingat insiden yang baru saja terjadi di atas meja makan tadi.
"Kak Ratna, boleh aku duduk di sini?" Sapa seorang gadis remaja yang tampak beberapa tahun lebih muda dari Ratna. Yang ia tahu, gadis itu merupakan anak dari putra keempat di Keluarga Bramastha, adik sepupu Angga, Dinda.
Dinda menghampiri Ratna di pojokkan sofa, tempat dimana ia sedang duduk menepi sambil menikmati tehnya.
"Ada apa, Din?" Tanya Ratna membalas sapa.
"Maukah Kakak membantuku menyelesaikan tugas sekolahku? Guru mata pelajaran sejarahku memberikan tugas untuk merangkum isi dari peristiwa kerusuhan di tahun 1998 secara lengkap, tapi aku malas jika harus membacanya, isinya pasti akan sangat panjang dan itu sangat membosankan. Jadi, berhubung ada Kakak di sini, sekalian saja aku minta tolong," jawab Dinda sambil tertawa cengengesan.
"Baiklah, akan kubantu, kakak yang akan meringkaskannya untukmu. Dimana bukunya?" Ratna menyetujui.
"Buku? Buku apa?" – Namun Dinda malah balik melempar tanya padanya.
"Tentu saja buku sejarahmu, Dinda, bukankah kau bilang ingin merangkumnya?" Ujar Ratna.
"Aduuuh, Kak Ratna, bukan itu maksudku. Aku tidak meminta Kakak membacakannya untukku, toh aku pun tidak punya bukunya. Harus dipinjam dulu dari perpustakaan. Yang kumaksudkan di sini adalah, Kakak ceritakan saja secara langsung bagaimana kronologinya. Kata Nenek, Kakak termasuk salah satu korban dan saksi hidup dalam insiden itu 'kan?" Jawab Dinda kemudian.
"Apa maksudmu berkata seperti itu? Aku korban? Saksi hidup? Aku sama sekali tak mengerti."
Tentu saja Ratna jadi bingung sendiri. Dinda tiba-tiba saja mengatakan hal yang cukup membuatnya kebingungan, tentang sesuatu yang sama sekali tak Ratna mengerti.