Berbicara mengenai Hotel Nuwa dan delapan keluarga kehormatan, kedua hal ini sejak dulu memang saling berkaitan satu sama lain. Berkat kerja sama para kepala keluarga pendahulu, Hotel Nuwa bisa berdiri sampai sebesar ini, pun mereka berdelapan yang diuntungkan dengan meningkatnya ketersohoran hotel dan strata sosial keluarga mereka di masyarakat. Namun sekarang sepertinya keadaannya memang sudah jauh berbeda, sebab tentu saja karena terus terjadinya pergantian kepala keluarga dalam setiap beberapa tahun. Bukan melambangkan simbiosis mutualisme lagi, namun kini Hotel Nuwa telah berubah fungsi menjadi inang dari parasit yang terus berusaha memanjat menggerogotinya. Sejak awal pun sebenarnya Ratna sudah sadar bahwa kerja sama ini memang sudah waktunya diputus, namun tentu tak semudah dan sesingkat membalikkan telapak tangan. Semuanya butuh proses. Satu persatu tali pengikat yang terus menjerat Hotel Nuwa harus dilepas dengan hati-hati.
Agar lebih jelas lagi, biar kudeskripsikan bagaimana karakter masing-masing dari kedelapan keluarga kehormatan yang cukup sering disoroti dalam alur cerita ini, walau membahas hal ini pun akan membuat mata yang membacanya akan jadi sedikit perih, bagaikan mengupas bawang merah.
Pertama, mereka gemar menggembar-gemborkan sesuatu. Misalnya saja seperti mengaku-ngaku bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang paling dianggap istimewa dari jajaran keluarga lain dalam list anggota naratetama di Hotel Nuwa, sehingga kedelapan keluarga ini pun saling bersaing untuk menjadi keluarga yang lebih disegani di masyarakat. Lalu, mereka sering menggunakan Hotel Nuwa sebagai pegangan bisnis pribadi mereka, guna menarik para investor agar mau bekerja sama dengan perusahaan milik pribadi yang mereka kelola. Untuk mengalahkan saingan bisnisnya, bukankah ini termasuk cara yang cukup licik? Menjual nama inangnya tanpa persetujuan sang pemilik. Kebobrokan selanjutnya adalah sifat licik yang mendarah daging. Salah satu dari mereka pernah diciduk melakukan transaksi ekspor-impor barang mewah dengan mengatas namakan Hotel Nuwa agar mendapatkan diskon harga yang murah, yang tentu saja berimbas pada nama baik hotel di kalangan para pengimpor.
Lebih parahnya lagi, dua dari delapan keluarga ini ada yang memiliki karakter gaya hidup konsumtif, yang satunya penjudi berat dan yang satunya lagi suka menghamburkan uang untuk urusan pribadi. Nahasnya, kedua keluarga ini yang malah paling sering mendapatkan hadiah termewah dari Hotel Nuwa, yakni berupa kartu hitam tanpa limit selama satu tahun di tiap pegiriman acak hadiah yang mereka lakukan di setiap tahunnya. Dan bisa kalian tebak apa yang mereka lakukan dengan kartu hitam itu? Keduanya sering tercatat melakukan transaksi besar di berbagai negara, pergi jalan-jalan ke luar negeri, dan tak jarang pula banyak laporan yang mengatakan bahwa orang-orang ini sering keluar masuk kasino-kasino mewah. Ada juga yang malah menghambur-hamburkan kartu tanpa limit ini untuk berjudi, hingga tak sampai setahun pun sepertinya pengeluaran yang mereka keluarkan akan jauh melebihi batas minimal pengeluaran yang ditetapkan.
Mungkin akan bisa ditoleransi apabila timbal balik yang dihasilkan sesuai dengan fasilitas yang diberikan, namun dalam hal ini tidak sama sekali. Mereka seolah terlena dengan kemewahan yang diberikan oleh Hotel Nuwa selaku inang tempat orang-orang ini merambatkan akarnya, menggunakan semua fasilitas itu untuk kepentingan pribadi masing-masing tanpa hasil yang sebanding. Lihat saja contoh kecilnya, operasional hotel yang biasanya berjalan lancar kini harus ditanggung semua oleh Tuan Adisaka, seperti kasus pemesanan marmer. Rencana perluasan teras di kamar suite itu sampai sekarang pun masih belum menemui titik terangnya oleh sebab pihak Nyonya Adeline yang berulah tiba-tiba menaikkan harga barangnya. Padahal jika saja Keluarga Barayantjo mau membantu, mungkin semuanya akan mudah. Keluarga Barayantjo dan Nyonya Adeline memang sering melakukan transaksi, dan hubungan mereka pun terlampau dekat. Tentu akan sangat mudah bagi mereka bernegosiasi dengan Nyonya Adeline terkait harga marmer, namun ternyata tidak. Keluarga itu bahkan sama sekali tak peduli.
Oleh sebab itulah, entah Nyonya Roro memang ingin membantu Ratna terlepas dari ikatan beracun itu atau ada maksud lainnya, namun ia tentu harus mempertimbangkan matang-matang. Walau mungkin kedelapan keluarga kehormatan ini sudah mulai membebani Hotel Nuwa, namun upaya yang dilakukan oleh para pendahulu mereka tergolong besar dalam proses perkembangan hotel ini hingga menjadi bangunan paling mentereng seantero negeri. Dan mengenai permintaan akuisisi? Tentu Ratna tak bisa menyetujuinya. Hotel Nuwa merupakan aset paling berharga yang ia miliki, dan Ratna pun tak mungkin membiarkan orang lain mengambil alih bangunan itu walau seperti apapun alasannya. Ia akan tetap menjadi pengendali penuh atas seluruh kepemilikan dan operasional hotel.