"Kau mengajakku bertemu di sini, biar kutebak, apakah ini berkaitan dengan delapan keluarga kehormatan itu?" Nyonya Roro langsung menyerbu Ratna dengan sebuah pertanyaan yang menjurus langsung pada intinya.
Setelah berdelebrasi panjang dengan pikirannya sendiri, akhirnya Ratna pun memutuskan untuk lebih dulu menemui tetua dari Keluarga Bramastha ini di sini, di sebuah Gereja tua yang masih kokoh berdiri di pinggiran kota. Ratna memilih tempat ini bukanlah tanpa alasan, selain Gereja itu memiliki sejarah kenangan yang manis untuknya di masa lalu, tempat itu juga terlampau aman untuk melakukan transaksi rahasia seperti yang hendak dilakukan oleh Ratna kala itu.
"Ah, sepertinya Nenek adalah titisan seorang cenayang ya? Bisa menebak hal yang akan kubicarakan bahkan sebelum aku memulainya," jawab Ratna.
"Ada apa? Apa sekarang kau setuju untuk melakukan hal yang kukatakan minggu lalu?" Tanya Nyonya Roro.
Udara hari ini tak begitu dingin, hanya saja sedikit berangin. Seperti biasanya. Tampak seekor induk gereja sedang bertengger di sebuah dahan pohon tanpa daun, melatah linglung seakan memberi salam pada siapapun yang berkunjung ke tempat itu. Angin sore mulai bertiup kencang, bergemuruh, mengguncang ranting-ranting kering hingga jatuh berserakan di tanah, lalu menyapu daun-daun pohon maple yang jatuh berguguran ke sisi yang lain. Untungnya tak turun hujan, walau langit tampak mendung dan kelabu. Begitupun dengan yang terjadi di dalam Gereja, walau suasana berubah suram untungnya tak terjadi badai di antara mereka.
"Buku hitam itu, kali ini aku akan menggunakannya," ujar Ratna sebagai jawabannya.