Ratna lantas melirik ke arah laki-laki yang duduk persis di sebelah Dyah, yang tak lain adalah Angga. Ia menatap laki-laki itu dengan tajam, berusaha mendapatkan jawaban atas apa yang baru saja terjadi. Namun sayangnya, Angga tetap saja bersikap dingin padanya seolah ia enggan menggubris semua pertanyaan yang mengerumuni otak Ratna saat itu.
"Ma-maaf, aku harus ke toilet," – alasan yang cukup klasik untuk kabur dari masalah. Toilet adalah pilihan teraman untuknya saat ini.
Ratna buru-buru melarikan dirinya ke tempat yang tak akan bisa dimasuki orang sembarangan itu, toilet. Gejolak kali ini agak berbeda dengan yang biasanya Ratna rasakan, ia tak mual ataupun pusing. Hanya saja kali ini dadanya terasa sesak hingga rasanya ia kesulitan bernapas. Kalau tahu akan begini, lebih baik Ratna memakai gaun terusan saja yang tak membebani tubuhnya, sampai-sampai ia ingin sekali melepas gaunnya tersebut.
Ratna ingin menangis. Entah mengapa suasana hatinya kala itu berubah murung seketika, padahal tak ada yang membuatnya tersinggung 'kan? Apakah ini efek karena ia terlalu syok atas kehadiran Dyah di sana? Bisa jadi.
"Boleh aku masuk?"
Disepersekian detik berikutnya, suara seorang gadis lantas terdengar menggema di toilet itu - melontarkan tanyanya pada Ratna. Ya, secara tak ada orang lain di sana. Siapa? Ternyata itu Dyah, lagi-lagi. Padahal dengan susah payah Ratna berusaha menghindarinya sampai harus kabur ke toilet, namun ternyata gadis ini malah membuntutinya.
"Kau sudah masuk," jawab Ratna dengan ketus.
"Ah, iya, kau benar, aku sudah masuk. Maaf," ujar Dyah cengengesan.
"Aku sudah selesai, kau lanjutkan saja," Ratna hendak bergegas pergi dari toilet itu, sebab rasanya benar-benar canggung.