Pagi itu terasa lebih lambat dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela kamar tidur, tapi cahayanya tampak kusam, seperti terhalang lapisan tipis kabut. Alya sudah bangun terlebih dahulu, berdiri di dapur sambil mengaduk secangkir teh dengan gerakan mekanis. Ada keheningan yang tidak nyaman di antara mereka, bahkan sebelum kata-kata diucapkan.
Yuda masuk ke dapur, rambutnya masih acak-acakan, matanya tampak lelah meski malam sudah berlalu. Dia berhenti sejenak, menatap Alya dari kejauhan, seolah mencoba mencari cara untuk memulai percakapan yang sepertinya tidak bisa dia mulai. Ada jarak di antara mereka yang terasa semakin melebar setiap harinya—bukan hanya fisik, tapi juga emosional. Seperti ada tembok yang tak terlihat berdiri di antara mereka, membatasi setiap usaha untuk mendekat.
"Semalam… kamu baik-baik saja?" suara Alya terdengar lembut, tapi dingin. Dia tidak menatap Yuda, masih fokus pada cangkir di tangannya.
Yuda terdiam. Dia tahu maksud dari pertanyaan itu. Malam sebelumnya, dengan segala hal yang aneh dan mengguncang yang terjadi, dia sulit untuk tidur nyenyak. Bayangan-bayangan, suara-suara, dan perasaan bahwa dunia di sekitarnya mulai retak, semuanya menghantuinya.
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Yuda pelan, meskipun dia tahu itu bukan jawaban yang jujur.
Alya mengangguk kecil, tapi jelas dia tidak puas dengan jawaban itu. Suasananya tegang, seolah setiap kata yang terucap malah semakin memperparah keretakan yang sudah ada. Akhirnya, Alya berhenti mengaduk tehnya dan meletakkan sendok dengan bunyi pelan tapi terasa menusuk di telinga Yuda.
"Kita hampir tidak pernah bicara lagi, Yuda," Alya berkata dengan suara yang lebih tegas kali ini. Dia berbalik, akhirnya menatap suaminya. "Setiap hari kamu semakin jauh. Aku bisa melihatnya, merasakannya. Ini bukan cuma soal pekerjaan. Ada yang lebih dari itu."
Yuda menelan ludah, tapi tetap terdiam. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin menjelaskan bahwa ada hal-hal yang bahkan dia sendiri tidak mengerti. Bahwa dia merasa seperti sedang kehilangan pegangannya pada realitas, bahwa dunia di sekitarnya mulai terasa seperti ilusi yang tak bisa dia pecahkan. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan semua itu tanpa terdengar gila?
"Ini cuma stres dari pekerjaan," katanya akhirnya, mencoba untuk terdengar meyakinkan, meskipun dia tahu bahwa jawaban itu sudah terlalu sering dia gunakan. "Banyak yang terjadi belakangan ini. Kasus-kasus ini semakin rumit, dan... aku cuma perlu waktu."
Alya menatapnya dengan tatapan yang penuh kekecewaan. "Stres? Yuda, ini lebih dari sekedar stres. Aku tidak kenal kamu lagi. Setiap hari kamu makin menjauh, seperti ada sesuatu yang menakutkanmu, tapi kamu tidak mau bilang."
Yuda menggigit bibir bawahnya, merasa tersudut oleh kata-kata istrinya. Dia tahu Alya benar. Tapi apa yang bisa dia katakan? Bagaimana dia bisa berbagi sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak sepenuhnya pahami? Setiap hari, dia merasa semakin terpisah dari realitasnya sendiri, dan rasa keterasingan itu bahkan merembes ke dalam rumahnya—ke dalam pernikahannya.
"Alya..." Yuda mulai, tapi suaranya terputus. Ada perasaan hampa yang menghalanginya untuk membuka diri lebih jauh. Setiap kata yang ingin dia ucapkan tampak seperti sia-sia, seperti hanya akan semakin memperburuk keadaan.
Alya menghela napas panjang, menyerah untuk sementara waktu. "Aku hanya ingin kamu kembali, Yuda," katanya dengan suara yang lebih pelan, penuh kelelahan. "Aku tidak tahu ke mana perginya laki-laki yang dulu aku nikahi. Kamu ada di sini... tapi rasanya kamu sudah tidak benar-benar ada."
Kata-kata itu menampar Yuda lebih keras daripada yang dia duga. Dia bisa merasakan dinding di dalam dirinya semakin tinggi, semakin kuat. Dan untuk pertama kalinya, dia bertanya-tanya apakah mungkin dia memang sudah tidak ada lagi di dunia ini dengan cara yang seharusnya. Bahwa mungkin dia sudah terlalu jauh tenggelam ke dalam kebingungan ini sehingga dirinya yang dulu perlahan menghilang.
Mereka menghabiskan sisa pagi dalam keheningan yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan ketidakpastian. Yuda merasa seperti dia terjebak di antara dua dunia—dunia nyata yang seharusnya dia huni dan dunia aneh yang terus mendistorsi segalanya di sekitarnya. Alya, meskipun mencoba, tidak bisa lagi mencapai Yuda yang sekarang seolah menghilang dalam kekosongan yang tidak dia mengerti.
Ketika Yuda bersiap untuk berangkat kerja, Alya mendekatinya dan menyentuh lengannya dengan lembut. “Yuda, aku ada di sini. Kalau kamu butuh bicara, aku akan mendengarkan.”
Yuda menatapnya, mencoba menemukan kata-kata yang bisa menjelaskan semua ini. Tapi, seperti sebelumnya, dia hanya bisa mengangguk pelan. Dia tahu dia perlu bicara, tapi rasanya semakin lama semakin tidak ada gunanya. Setiap hari, kenyataan terasa semakin jauh dari jangkauannya. Dan setiap kali dia mencoba untuk mendekati Alya, jarak itu hanya semakin lebar.