Yuda duduk di kursinya, berkas-berkas tersebar di meja di depannya, layar komputer menyala dengan grafik dan laporan keuangan yang menumpuk. Sementara matanya memindai data demi data, pikirannya terus berusaha menangkap pola tersembunyi di antara angka-angka itu. Setiap laporan yang dia baca seolah-olah berbicara dalam bahasa yang berbeda—ada sesuatu yang tidak tampak pada pandangan pertama, tapi ia bisa merasakan kehadirannya, seperti bayangan yang mengintai di sudut pandangnya.
Teleponnya berdering. Nama Reza muncul di layar.
"Mas Yuda, saya sudah coba melacak transaksi yang mencurigakan dari kementerian, tapi..." Reza berhenti sejenak, terdengar ragu. "Ada yang aneh. Sepertinya ada beberapa data yang dihapus. Tapi, yang lebih aneh lagi, ada data yang muncul tiba-tiba—seperti baru diunggah. Aku yakin data ini seharusnya tidak ada di sini kemarin."
Yuda mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdegup lebih cepat. "Kirimkan padaku datanya," katanya pendek, sambil berpikir cepat.
Beberapa menit kemudian, berkas digital dari Reza muncul di layar komputer Yuda. Dia membukanya dengan penuh perhatian, memindai angka-angka dan detail transaksi yang tampak biasa saja. Namun, semakin ia memeriksanya, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang tidak sinkron. Seolah-olah beberapa angka telah dipindahkan, dimanipulasi dengan halus untuk menyembunyikan sesuatu yang lebih besar. Yuda merasakan gelombang ketidaknyamanan menjalar di punggungnya. Ini bukan hanya soal uang.
Beberapa transaksi mencurigakan melibatkan perusahaan yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Perusahaan-perusahaan cangkang yang muncul secara tiba-tiba dan menghilang tanpa jejak. Dia tahu ini pola klasik pencucian uang, tapi yang aneh adalah skala dan keteraturannya. Perusahaan-perusahaan ini muncul dengan alasan yang sangat spesifik, dan setiap kali mereka muncul, ada celah kecil dalam aliran dana yang sulit dijelaskan—seperti ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang menghindari radar.
Pola ini terlalu sempurna.
Yuda menyandarkan diri ke kursi, menatap grafik yang membentang di layar komputernya. Pikirannya berpacu mencoba menyusun potongan-potongan ini. Jika benar ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar skandal korupsi biasa, dia mungkin sedang menghadapi jaringan yang lebih kuat dan lebih terorganisir daripada yang pernah dia tangani sebelumnya.
Dering telepon kembali memecah kesunyian. Kali ini, namanya adalah Siti Marlina.
"Siti, kamu dapat informasi yang aku minta?" Yuda langsung memulai tanpa basa-basi.
"Aku sudah mencoba menghubungi beberapa sumber di kementerian dan jaringan perusahaan yang terlibat," jawab Siti dengan nada serius. "Tapi seperti yang kau duga, semuanya ditutupi rapat. Lebih aneh lagi, beberapa orang yang aku wawancarai tiba-tiba mundur. Mereka tampak ketakutan, seolah ada sesuatu yang lebih besar yang mengancam mereka."
Yuda menelan ludah. "Ancaman apa maksudmu?"