Malam itu, Yuda duduk di meja makan di rumahnya, namun rasanya seperti dia berada di tempat yang sama sekali asing. Alya duduk di seberangnya, namun keheningan di antara mereka terasa jauh lebih keras daripada percakapan mana pun yang pernah mereka miliki. Dulu, rumah ini pernah menjadi tempat perlindungan mereka—di sinilah mereka berbagi tawa, cerita, dan mimpi. Sekarang, rumah ini seperti penjara sunyi, dan setiap sudutnya menyimpan ketegangan yang tidak bisa mereka ungkapkan.
Alya mengaduk makanannya perlahan, tapi jelas dia tidak benar-benar berniat untuk makan. Wajahnya tampak letih, seolah-olah beban yang tidak kasat mata terus menekan bahunya. Yuda, di sisi lain, menatap kosong ke piringnya, pikirannya melayang antara rasa paranoia dan kegelisahan yang tak bisa dia jelaskan.
"Yuda," suara Alya memecah kesunyian, namun nadanya terdengar ragu, hampir seperti dia tidak yakin harus memulai dari mana. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi?"
Yuda tidak langsung menjawab. Dia tahu bahwa Alya sudah lama menunggu jawaban. Tetapi bagaimana dia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak mengerti? Bagaimana dia bisa menjelaskan tentang bisikan-bisikan yang terus menghantui pikirannya, tentang bayangan-bayangan yang tampak hidup, atau tentang realitas yang seolah-olah sedang memanipulasi dirinya? Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa setiap kali dia mencoba menavigasi dunia ini, seolah-olah dunia itu sendiri sedang melawannya?
"Aku...," Yuda mencoba berbicara, tapi suaranya terasa serak, seolah-olah tenggorokannya menolak untuk mengeluarkan kata-kata yang tepat. Dia menatap Alya, mencoba mencari cara untuk mengungkapkan perasaannya. "Aku tidak tahu. Ada sesuatu yang salah, tapi aku tidak tahu apa itu."
Alya menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada kesedihan di matanya, tapi juga ada kemarahan yang terpendam, seperti api kecil yang perlahan-lahan membara. "Kamu tidak pernah bercerita padaku lagi, Yuda. Kamu selalu bilang semuanya baik-baik saja, tapi aku tahu itu tidak benar. Aku tahu ada sesuatu yang membuatmu takut."
Yuda mengalihkan pandangannya, tidak sanggup menatap langsung ke mata istrinya. Dia tahu Alya benar—ada sesuatu yang membuatnya takut, sesuatu yang terus membayangi setiap langkahnya. Tapi bagaimana dia bisa berbagi ketakutan ini tanpa terdengar seperti orang gila?
"Alya," katanya pelan, "aku hanya... terlalu banyak hal yang terjadi di kantor. Kasus yang sedang aku tangani, ini bukan kasus biasa. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi rasanya... seperti ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita bayangkan."
Alya menghela napas panjang, lalu menyandarkan dirinya ke kursi. "Setiap kali kamu bicara tentang pekerjaan, rasanya seperti ada tembok yang kamu bangun antara kita. Seolah-olah aku tidak bisa mendekat. Kamu bilang ada sesuatu yang besar, tapi kamu tidak pernah memberitahuku apa itu. Aku ingin membantumu, tapi bagaimana aku bisa membantu jika kamu terus mendorongku pergi?"
Yuda merasa hatinya mencelos. Dia tahu Alya benar, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan sesuatu yang terus berubah di depannya. Setiap kali dia mencoba menangkap apa yang sebenarnya sedang terjadi, kenyataan itu bergeser lagi, meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
"Aku... maaf," kata Yuda akhirnya, suaranya rendah. "Aku tidak bermaksud menjauh. Aku hanya... tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semua ini."
Alya menatapnya sejenak, lalu menunduk. "Kamu bukan satu-satunya yang merasa terisolasi, Yuda. Aku juga merasa kehilangan. Aku merasa seperti aku sudah tidak mengenalmu lagi. Bahkan ketika kamu ada di sini, rasanya kamu tidak benar-benar ada."