Beberapa hari setelah konfrontasinya dengan Dr. Arjuna, dunia di sekitar Yuda terasa semakin jauh dan tidak bisa dijangkau. Teleponnya jarang berdering. Rekan-rekannya di LIN tampak menghindarinya—baik secara fisik maupun emosional. Ketika dia berjalan di lorong-lorong kantor, dia bisa merasakan tatapan dingin mereka menempel di punggungnya, namun tidak ada yang mencoba berbicara dengannya. Mereka seolah-olah takut, atau mungkin, tahu lebih banyak dari yang dia sadari.
Yuda tidak bisa memastikan lagi apakah dia masih dianggap bagian dari organisasi ini, atau apakah dia sekarang hanya menjadi penonton dalam sistem yang semakin dia curigai telah sepenuhnya dimanipulasi.
Setiap kali dia membuka emailnya, kotak masuknya semakin jarang berisi sesuatu yang berarti. Berkas-berkas yang dulu dia kerjakan sudah diambil alih oleh orang lain, dan laporan-laporan baru hanya terasa seperti formalitas. Bahkan Reza, rekannya yang dulu penuh semangat dan setia, tampak semakin jauh. Ketika Yuda mencoba menghubunginya, panggilannya sering tidak terjawab, dan pesan-pesan teksnya hanya dibalas dengan singkat, atau bahkan tidak sama sekali.
Semakin hari, Yuda merasa seperti dia hidup dalam gelembung yang semakin sempit—terisolasi dari semua orang dan segala sesuatu yang pernah dia kenal.
***
Malam itu, di rumah, Alya duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada layar televisi, tetapi jelas dia tidak benar-benar memperhatikan apa yang ditampilkan. Kehampaan antara mereka semakin nyata. Yuda duduk di ujung lain dari sofa, jaraknya lebih dari sekadar fisik. Sudah beberapa hari sejak mereka benar-benar berbicara lebih dari sekadar sapaan biasa. Sebuah jurang emosional telah terbentuk di antara mereka, dan semakin hari, jurang itu semakin lebar.
Yuda mencoba untuk mengatakan sesuatu, mencoba membuka percakapan yang bisa membawa mereka kembali ke tempat yang lebih baik. Tapi setiap kali dia akan berbicara, kata-kata itu hilang di tenggorokannya, tergantikan oleh rasa hampa yang tidak bisa dia jelaskan. Apakah ini semua kesalahannya? Apakah dia telah membiarkan dunia di sekitarnya hancur begitu saja tanpa berusaha memperbaikinya?
"Alya," katanya akhirnya, suara seraknya terdengar asing bahkan di telinganya sendiri. "Apa kita masih... ada di sini?"
Alya menoleh ke arahnya dengan ekspresi bingung, seolah-olah pertanyaan itu datang dari tempat yang jauh dan asing. Matanya kosong, seperti dia tidak lagi mampu merasa dekat dengan Yuda. "Aku tidak tahu, Yuda," jawabnya pelan. "Kadang aku merasa... kita sudah terlalu jauh terpisah untuk kembali."