Pandora Box

Rizal Nurhadiansyah
Chapter #22

The Dilemma

Setelah konfrontasi yang menegangkan dengan Dr. Arjuna, Yuda menemukan dirinya terjebak dalam krisis moral yang luar biasa. Pertemuan itu meninggalkan jejak yang dalam, bukan hanya karena Arjuna memegang kekuasaan yang nyata atas kehidupan Yuda dan orang-orang lain, tetapi juga karena kebenaran yang Yuda pegang semakin menjadi beban yang sulit dipikul sendirian.

Malam itu, Yuda kembali ke tempat persembunyiannya, duduk di depan meja kecil dengan laptopnya terbuka di depannya. Di dalam laptop itu, tersimpan bukti-bukti terakhir yang bisa menjatuhkan Proyek Zenith—bukti yang akan mengekspos manipulasi massal yang dilakukan oleh para elit ini. Tetapi setiap langkah ke depan terasa lebih berat daripada yang pernah dia bayangkan.

Yuda tahu bahwa jika dia merilis bukti ini ke publik, maka tidak hanya Arjuna yang akan hancur, tetapi juga sistem yang telah mendukungnya. Tetapi di balik itu, ada konsekuensi besar yang tidak bisa dia abaikan. Semua orang yang terlibat, termasuk dirinya sendiri, akan menjadi target langsung dari kekuatan besar yang tidak akan membiarkan kebenaran ini terungkap tanpa perlawanan. Dia sudah melihat bagaimana mereka bisa menghilangkan orang, menghapus ingatan, bahkan mengendalikan realitas itu sendiri.

Dan yang lebih mengerikan lagi, Alya. Meskipun hubungan mereka telah hancur, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Alya masih berada dalam bahaya. Jika Yuda melanjutkan langkah ini, Alya mungkin akan menjadi korban dalam pertempuran ini, sesuatu yang tidak pernah dia inginkan. Apakah dia siap mengorbankan nyawa Alya untuk kebenaran ini?

Yuda merasakan pergulatan batin yang luar biasa. Di satu sisi, dia ingin mengungkap semuanya—membuka kebohongan yang telah menghancurkan hidup banyak orang, termasuk hidupnya sendiri. Tetapi di sisi lain, kebenaran ini memiliki harga yang sangat mahal. Mengungkap kebenaran berarti membuka pintu untuk bahaya yang lebih besar, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi semua orang yang dia cintai.

Pilihan ini adalah pilihan moral terberat yang pernah dia hadapi.


***


Dalam keheningan malam, telepon sekali pakainya berdering. Suara di seberang sana adalah Anton, jurnalis yang dia temui beberapa hari lalu. Nada suaranya terdengar tegang, hampir panik.

"Yuda," katanya dengan suara cepat, "kau harus berhati-hati. Aku baru saja menerima ancaman. Mereka tahu bahwa kita punya bukti itu. Mereka memperingatkan kita untuk tidak mempublikasikannya. Ini lebih besar daripada yang kita kira. Aku tidak tahu harus berbuat apa... tapi mereka serius. Ini bisa berakhir buruk."

Lihat selengkapnya