Waktu berlalu. Hujan yang mengguyur malam itu kini telah berhenti, meninggalkan jalanan yang basah dan licin di bawah sinar mentari pagi yang hangat namun lemah. Jakarta mulai bangun dari tidurnya, perlahan-lahan terbangun menuju rutinitas sehari-hari, seolah-olah pertempuran besar yang terjadi semalam hanyalah sebuah bayangan samar dalam benak kota ini.
Yuda berjalan sendirian di jalan yang sepi, tubuhnya masih terasa sakit akibat bentrokan yang baru saja terjadi. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban mental yang dia bawa—beban dari pertarungan yang tampaknya tidak akan pernah berakhir.
Dia melihat sekeliling, mengamati orang-orang yang berjalan cepat di trotoar, sibuk dengan kehidupan mereka yang biasa. Apakah mereka tahu? pikirnya. Apakah mereka sadar bahwa hidup mereka telah dimanipulasi, bahwa ada kekuatan di balik layar yang terus memanipulasi apa yang mereka lihat, apa yang mereka rasakan, bahkan apa yang mereka pikirkan?
Namun, meskipun Yuda telah mengungkapkan kebenaran itu, dunia tampak tidak berubah. Orang-orang masih menjalani rutinitas mereka, masih terjebak dalam ilusi yang telah dibentuk oleh Proyek Zenith. Apakah mereka peduli dengan kebenaran itu? Ataukah mereka hanya ingin melanjutkan hidup tanpa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di balik permukaan?
Yuda berhenti di depan sebuah kios koran dan melihat berita utama pagi itu. Ada laporan tentang kebocoran Proyek Zenith, tentang konspirasi besar yang mulai terungkap, tetapi narasi yang muncul masih bercampur antara kebenaran dan kebohongan. Beberapa artikel menyebut kebocoran itu sebagai rekayasa, sementara yang lain menyebutnya sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Dunia tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Yuda menghela napas panjang. Dia telah melakukan yang terbaik—dia telah mengungkapkan kebenaran, tetapi sekarang, dunia harus memutuskan apakah mereka ingin mempercayainya atau tidak. Pilihan itu tidak lagi berada di tangannya.