"Copycat killer ya? Ehm, sebenarnya sulit bila mengatakan pelaku adalah copycat killer atau dengan kata lain peniru. Karena tidak sembarang pelaku berani mengambil organ tubuh korbannya terutama mata. Butuh motivasi yang sangat kuat untuk melakukan itu, tidak bisa jika hanya berniat meniru modus operandi pelaku lain."
"Siapa tau dia memang psikopat yang baru memulai pembunuhan, Ren."
"Pembunuhan sesempurna ini tidak mungkin dilakukan oleh seorang pemula, Rel. Bagaimana, sudah kau temukan persamaan di antara keduanya? Bila sudah serahkan padaku berkasnya."
"Belum, sebentar lagi."
Farel terlihat sibuk dengan komputernya, sesekali ia meneguk kopi yang tersaji di atas mejanya. Pandangannya bergerak ke kiri dan ke kanan, berusaha membandingkan dua berkas yang baru saja ia dapatkan.
Beberapa lembar kertas mulai keluar dari dari mesin pencetak di sebelah meja Naren. Ia segera mengambil dan merapikannya. Setelah memastikan semua info yang ia temukan telah berhasil tercetak, Farel menghampiri meja Naren dan mulai menjelaskan temuannya.
"Seperti yang kau lihat itu, Ren. Korban kedua bernama Meilani Hudaya, 25 tahun. Dari segi usia tentu tidak jauh berbeda dengan korban sebelumnya. Namun, tidak hanya itu. Dari hasil pemeriksaan diketahui bila tubuh Meilani pun dicuci menggunakan cairan pembersih, sama seperti Nada Kharisma."
"Nah, itu yang aku maksud tadi. Bila pelaku hanya sekedar meniru kasus lain atau dalam hal ini kita sebut dengan copycat killer. Apa menurutmu ia akan menirukan detil sesempurna itu? Bahkan dalam keterangan ini ada kesamaan dari cairan yang digunakan untuk membersihkan tubuh korban."
"Tapi bukannya kau tadi mengatakan kalau pelaku tidak mungkin melakukan pembunuhan pertama kali ini, kan? Dalam kasus Nada Kharisma pun dirimu mengatakan hal yang sama. Akan tetapi, seingatku aku belum pernah mendengar kasus serupa terjadi sebelumnya."
"Itu juga yang kupikirkan. Bila keduanya bukan kasus pertama dari pelaku, maka seharusnya akan ada kasus lain yang mirip. Tapi saat kuminta Mas Bima memeriksa database kepolisian saat kasus Nada Kharisma kemarin, ia tetap tidak menemukan kasus apapun."
Keduanya cukup lama terdiam. Farel membenamkan kepalanya diantara tumpukan berkas di atas meja Naren. Sedangkan Naren memilih berdiri dan berjalan ke arah jendela besar di sudut kantornya.
Ia memperhatikan setiap orang yang lewat di depan jendelanya. Ada seorang pria tua yang sedang berjalan dengan santai di taman seberang jalan. Di sisi lain ada juga gerombolan siswa berbaju putih biru sedang berusaha menyeberang jalan. Naren mengamati mereka semua bergantian. Seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Rel, sini deh!" serunya memanggil Farel.
Farel menoleh masih bermalas-malasan dengan menyandarkan kepalanya di tumpukan berkas itu.
"Apa?"
"Sini! Jangan malas-malasan seperti itu!" Naren sedikit mengeraskan suaranya, tapi ia tidak marah.
Farel berjalan perlahan menghampiri Naren. Jujur saja ia masih meratapi kegagalan kencannya hari ini. Apalagi sudah lebih dari satu bulan ia mendekati wanita itu tanpa kemajuan hubungan sedikitpun.
"Lihat itu, Rel."
"Apaan? Cuma orang pada jalan aja kok dilihat."
"Ish, coba bayangkan kalau pelaku kali ini benar-benar bukan membunuh karena mengincar harta. Bayangkan kalau dia hanya orang gila yang menangkap orang seenaknya, membunuh lalu memutilasinya. Menurutmu, mana dari para pejalan kaki itu yang akan jadi korbannya selanjutnya?"