Souvenir yang penjaga warung itu maksud rupanya jubah mandi yang sama seperti milik Nadia.
"Kapan, Meilani memberikan jubah mandi ini pada Anda?"
"Ehm, kalau tidak salah dua hari lalu, Pak Polisi."
"Baik, untuk waktunya?"
"Kalau waktu saya tidak ingat pastinya, tapi sebelum dia berangkat kerja."
"Kerja?" tanya Naren memastikan.
"Ah, maksud saya berangkat ke bar sana," ucap pemilik warung itu sembari menunjuk ke arah 'Goth Loly'.
Naren mengangguk-angguk tanda paham. Selanjutnya Bima menanyakan beberapa hal yang aneh pada Meilani saat itu.
"Baik, berarti terakhir kali Anda bertemu adalah dua hari yang lalu, malam hari. Kira-kira apakah ada yang aneh dari Meilani saat itu?"
"Aneh bagaimana ya, Pak?"
"Mungkinkah dia terlihat ketakutan?"
"Ah, tidak, Pak. Seperti biasa saja."
Naren merogoh saku bagian dalam jasnya untuk mengambil buku catatan kecil. Ia menuliskan beberapa hal yang baru saja mereka dapat dari pemilik warung itu.
"Eh tapi kemarin itu, Mbak Mei terlihat sangat senang loh, Bu," terdengar suara sahutan dari dalam warung.
Rupanya anak pemilik warung sedari tadi memperhatikan obrolan mereka bertiga. Ia keluar dan menyapa Bima serta Naren, lalu mengambil posisi duduk di samping ibunya.
"Ah, biasa itu, kalau habis dapat pelanggan kan dia senang."
"Bukan, Bu. Orang Mbak Mei itu ketawa cekikikan gitu sambil lihat handphone kok. Pasti dia udah dapat nomor Mas Ganteng itu."
"Mas Ganteng?" Bima mulai tertarik dengan keterangan yang diberikan anak pemilik warung.
"Ah, anak saya sukanya ngaco. Itu tidak ada kaitannya dengan kasus ini, Pak."
"Tidak apa-apa, Bu. Kami ingin mendengar info tentang orang itu. Siapa tau kami dapat menemukan petunjuk lain dari sana."
"Nah, denger kan, Bu. Itu info," ucap sang anak merasa senang.
"Apakah, Adek kenal dengan orang itu?" tanya Bima pada anak laki-laki yang mungkin seusia SMA itu.
"Saya tidak kenal, Pak. Tapi Mbak Mei pernah cerita kalau orang itu sering ngetem di samping bar sana. Kata Mbak Mei orangnya ganteng."
Anak laki-laki berusaha menjelaskan apa yang ia ketahui dari orang itu. Mungkin karena jarang menggunakan bahasa formal, ia terlihat sedikit kaku saat menerangkan pada Bima dan Naren.
"Untuk namanya, Adek tahu?"
"Nggak tau, Pak. Tapi Mbak Mei sering bilang mas-mas 'oppa-oppa' gitu."
Naren memgernyitkan dahinya, kata 'oppa-oppa' yang keluar dari mulut anak laki-laki itu terdengar aneh di telingannya.
"Oppa-oppa?"
"Itu loh, Pak. Yang panggilan orang Korea itu."
"Ah, Oh itu ...." Bima mengangguk-angguk tanda paham.