Bima memutar arah, ia ingin segera memastikan apa yang terjadi di kantor. Naren dan Farel juga dengan senang hati ikut dengannya. Mereka juga penasaran dengan apa yang terjadi.
Begitu sampai kantor, Bima bergegas masuk dan meminta Farel dan Naren mengikutinya.
"Lihat apa yang kau perbuat!" terdengar bentakan keras saat Bima masuk ke ruangan atasannya.
Farel dan Naren yang menunggu di luar memilih diam, ia tidak ingin ikut campur dalam masalah kepolisian.
"Siapa yang mengirimkannya?"
"Mana kami tahu, jelas-jelas di atasnya tertulis untukmu. Kalau sampai media mengetahui hal ini, maka nama kepolisian akan tercoreng karena ulahmu."
"Bagaimana bisa ini menjadi salah saya?"
"Semua karena kau mengejar orang itu!"
"Justru keputusan Anda menetapkan para penjual organ itu sebagai pelakunya, yang salah."
Wajah kepala polisi mulai memerah. Ia terlihat sangat marah mendengar ucapan Bima.
"Bagaimana bila yang kita hadapi adalah pembunuh yang menganggap tiap korbannya sebagai karya? Bagaimana bila ia tersinggung dengan keputusan kalian menetapkan orang lain sebagai dalang dari pembunuhan yang ia lakukan?"
"Kau terlalu sering menonton drama!" Bentak atasannya.
"Ini bukan drama, lihat pelaku memiliki sandera. Ia memberikan kita kesempatan untuk menyelamatkannya! Bila Anda menghentikan saya saat ini bukankan nama baik kepolisian akan semakin tercoreng?"
Pria paruh baya itu tampak mempertimbangkan setiap perkataan Bima.
"Bayangkan bila sampai masyarakat tahu kalau kepolisian memiliki kesempatan untuk menghentikan korban terbunuh. Tapi yang mereka lakukan adalah menghentikan penyelidikan."
Bima mulai benar-benar marah. Ia juga sangat kecewa dengan kepala timnya yang memilih diam saja. Di saat yang dibutuhkan seperti ini, Anindito rekan satu timnya juga tidak terlihat batang hidungnya. Bima sudah cukup kesal dengan cara kerja di kantor ini. Ia mulai merindukan satuan kerja lamanya.
Sama seperti halnya Bima, kepala polisi itu juga menyimpan rasa kesal yang sama. Awalnya hanya tim satu yang membuatnya pusing, kini Bima juga membuatnya lebih pusing. Bila sebelumnya tim dua menjadi kesayangan para atasan, kini ia merasa tim dua dan satu sama saja, pembangkang.
"Baiklah! Satu kali ini kubiarkan kau mengurusnya dengan caramu! Pastikan korban kita selamat, atau aku alan memecatmu tanpa menunggu batas waktu tiga hari berakhir!"
Bima menyetujuinya, ia keluar ruangan sembari membawa surat yang menggegerkan kantornya itu.
"Bagaimana, Mas?"
"Kacau, Ren. Lihat ini!"
Naren dan Farel melihat surat yang baru saja Bima berikan. Dalam surat itu tertulis kalimat bernada ancaman.
"Sampai kapan kalian akan mengejarku? Atau kalian lebih memilih memberikan pernyataan palsu? Saat kalian memburuku, aku sedang bersenang-senang dengan wanita yang sebentar lagi akan melengkapi koleksiku. Hentikan aku, kalau kalian mampu! Kalau tidak ini akan menjadi ciuman terakhir yang dapat wanita ini berikan, last kiss." - Kolektor.
Di bawah surat itu sang pengirim membubuhkan tanda tangannya dan sebuah kecup bibir merah.
"Kolektor?" tanya Farel.