Naren dan Farel saling berpandangan, Bima yang sedari tadi diam tiba-tiba mengatakan kalau ia mengetahui alasan pelaku ke tempat ini.
"Kalian ingat surat yang aku dapatkan tadi bukan? Meskipun surat itu di alamatkan pada kepala polisi, tapi kolektor itu secara terang-terangan menyebutkan namaku dalam suratnya. Tandanya ia mengenalku. Tapi, kira-kira siapa?"
"Kalau memang pelaku mengenal Mas Bima saja, ia belum tentu mengetahui kantor kami, kan? Lalu, kenapa orang itu lebih memilih menunggu Mas Bima di sini dari pada di kantor polisi?" tanya Naren.
"Maksudmu bagaimana, Ren? Ya, mungkin saja kan dia mengikutiku kesini."
"Bukankah, Mas Bima tadi mengatakan, saat datang ke sini, mobil merah itu sudah terparkir di kafe depan sana. Lalu dari rekaman cctv ini pun terlihat kalau mobil itu sudah terparkir di sana jauh sebelum Mas Bima datang. Kalau dugaan saya, siapapun pemilik mobil itu, dia sudah mengikuti kita sejak malam hari. Lalu setelah memastikan alamat ini ia pulang dan kembali lagi pada pagi hari. Atau, ia mengetahui tempat ini karena mengenal kita bertiga."
Bima terkejut dengan kesimpulan Naren. Ia hanya bisa memikirkan kalau pelaku itu mengenalnya, tapu Naren justru merasa pelaku mengenal mereka bertiga.
"Bila kita ingat sekali lagi, saat kita pulang semalam kalian berdua tidur. Saat mengemudi saya tahu pasti kalau sama sekali tidak ada yang mengikuti kita semalam. Lagi pula pada malam hari lingkungan ini sangat sepi, karena sebagian besar pemilik ruko akan pulang pada malam hari. Tentu saya akan mudah menyadari bila ada yang mengikuti," lanjut Naren.
"Jadi menurutmu dia bukan mengikutiku atau mengikuti kita semalam, tapi dia benar-benar mengetahui alamat ini dan tahu kalau kita bertiga ada di sini?"
"Benar, Mas. Sepertinya kesimpulan itu yang paling bisa menjelaskan semua situasi ini."
"Tapi kenapa dia mengirimkan surat itu kepada kepala polisi? Kenapa tidak ia antarkan ke rumah ini saja?"
"Aku boleh berpendapat?" Farel menyela, sedari tadi ia hanya memperhatikan dan kali ini ia juga ingin mengungkapkan pendapatnya sendiri.
"Sepertinya yang ingin diancam oleh pelaku bukan hanya Mas Bima, tapi juga kepala polisi. Nama Mas Bima disebut dalam surat itu hanya untuk membuktikan kalau ia tau bahwa Mas Bima sedang mengejarnya."
"Benar, seperti yang Farel katakan. Pelaku ingin mengancam kepolisian yang sudah memberikan pernyataan palsu dan Mas Bima yang mengejarnya."
"Kenapa ia merasa perlu mengancam kepala polisi? Bukankah seharusnya ia senang karena kami menangkap orang yang salah? Dengan polisi menangkap orang yang salah tentu ia paling banyak di untungkan karena bisa bebas tanpa menerima hukuman."
Naren menggelengkan kepalanya, menunjukkan bahwa tidak sependapat dengan apa yang Bima pikirkan.
"Sepertinya pelaku bukan orang yang membunuh seseorang hanya karena dendam. Seolah ada hal yang ingin ia tunjukkan dari setiap aksinya."