"Satu es coklat dari kedai Brunneis?"
Gadis berambut sebahu itu mendengus. Melempar bantal ke tempat tidur, sejurus kemudian membenamkan wajah di sana. "Enggak, makasi."
"Ayolah, Shaf." Si penelpon tampaknya belum jengah merayu. "Tumben lo nolak es coklat legendaris milik Brunneis."
Menghela napas kasar, Shafiya bangkit. Minggu fajarnya kandas akibat ajakan Retta pergi ke toko buku sepagi ini. Ralat, sepertinya, kata 'sepagi ini' hanya berlaku bagi Shafiya. Nyatanya, raja siang di luar sana telah menggelincir tinggi di atas kepala---yang menandakan telah memasuki pukul 12.00 siang.
"Kenapa hari minggu lo nggak pernah produktif, sih." Suara sumbang Retta masih bergema di ponsel Safiya. Mencecarnya dengan pertanyaan yang lebih mirip pernyataan.
Shafiya menguap lebar, tangannya terulur untuk menutup mulut. Sementara mata pandanya berair lantaran semalam sutuk insomnia menyerang waktu tidurnya.
Dengan malas-malasan, Shafiya menekan opsi ikon telepon bewarna merah di layar ponsel---mengakhiri pembicaraan dengan Retta secara sepihak.
Mood gadis itu benar-benar berantakan sekarang. Es coklat kedai Brunneis tampaknya sudah tidak mempan lagi.
Mata yang terasa kantuk berat, perut kram akibat tamu bulanan, sesak di dada karena Raldi tidak mengacuhkannya seharian, dan ajakan mendadak Retta pergi ke Gramedia. Kurang apalagi penderitaan Shafiya di hari weekend saat ini?
Setelah kesekian kali menguap lebar, gadis berambut sebahu tersebut memejamkan mata. Berniat melanjutkan mimpi indah ketika dilamar Raldi---kakak kelas yang menjadi sebangkunya ketika Ujian Akhir Semester.
Akan tetapi, harapannya dipaksa pupus ketika sebuah dering panggilan dengan penelpon yang sama kembali meneror ponselnya satu menit setelah Shafiya mengakhiri pembicaraan. Awalnya, ia berniat mengabaikan panggilan itu saja. Lalu, kembali bergumul dengan bantal, guling, dan kasur empuknya.